Rabu, 21 Maret 2012

Belajar dari kesalahan AS


Pakar ekonomi dari Universitas Chicago Amerika Serikat Profesor Randall Kroszner dalam ceramah bertema "Crisis Response in America and Europe: Implication for Indonesia and Global Economy" di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Jakarta mengatakan, jika Indonesia ingin terhindar dari krisis, kekuasaan lembaga keuangan seperti bank dan penjamin kredit serta asuransi harus dibatasi. (Media Indonesia, 21 Maret 2012)

Yap, secara pribadi saya setuju dengan pernyataan beliau. Kita harus juga belajar dari AS atas krisis yang melanda beberapa waktu kemarin. Masih ingat kan gimana Lehman Brothers dan American Group terlalu mudah kasih jaminan, pas ada gagal bayar baru pada kelabakan. Saat ini pola pemberian kredit di Indonesia hampir kaya AS sebelum terjadinya krisis, jadi kita harus berhati-hati juga. (terlepas dari Kroszner adalah seorang Republikan)

Menurut Gubernur BI, untuk pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumtif diharapkan dapat lebih lambat. Pertimbangan lain adalah agar pemberian kredit tidak dilakukan tanpa down payment yang jelas. Membaca salah satu artikel di Kompas terkait dengan niat BI untuk mengurangi pertumbuhan kredit konsumtif berupa DP kredit kendaraan bermotor (setuju banget dengan langkah ini) dan pengaturan besaran LTV (loan to value) untuk kredit kepemilikan rumah. Rasio LTV KPR adalah maksimal 70% dari sebelumnya 80%. Sendangkan DP motor minimal 25% dan mobil minimal 30%. Sedangkan untuk keperluan produktif, kebijakannya dibedakan lagi, dengan DP minimal 20%. Bapepam LK juga menyepakati aturan yang sama untuk lembaga pembiayaan walau besarnya agak beda. (lebih jelasnya baca Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor sendiri ya)

Pertumbuhan kredit yang dikucurkan perbankan untuk KPR cukup tinggi lho. Dalam dua tahun terakhir KPR tumbuh 29% dari Rp136,5 triliun (Desember 2010) menjadi Rp176,5 triliun (Desember 2011). Dari jumlah itu, flat dan apartemen tumbuh mencapai 47%. Padahal pertumbuhan kredit keseluruhan hanya sebesar 24-25%. Kita harus berhati-hati juga pada akhirnya jika melihat angka sebesar ini.

Kebijakan pembatasan rasio LTV dan DP ini banyak ditentang karena dianggap akan semakin memberatkan dan memperkecil kesempatan masyarakat memiliki rumah. Dari sisi pengembang juga mengeluhkan kebijakan ini karena di satu sisi akan memberikan keamanan untuk pengembang karena DP yang besar, tapi pada akhirnya akan merugikan karena pembeli akan berkurang.

Sebenarnya kebutuhan perumahan sangat tinggi (ya iyalah seiring dengan jumlah penduduk juga), tapi kita juga harus melihat kemampuan masyarakat terutama menengah ke bawah yang belum begitu baik. Hal yang ditakutkan adalah terjadinya gagal bayar seperti yang dialami oleh AS. Pasar properti memang mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan cepat ini sampai pada titik tertentu akan membawa dampak baik, tapi kita juga harus waspada terhadap dampak buruknya. Oleh karena itu memang dibutuhkan kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Selain KPR, kebijakan BI juga meliputi kebijakan kendaraan bermotor. Kebutuhan kendaraan bermotor merupakan kebutuhan yang juga tak bisa dihindarkan seiring dengan peningkatan mobilitas penduduk. Dengan adanya batasan ini, diharapkan dapat memperkecil risiko gagal bayar.

0 comments: