Rabu, 21 Maret 2012

Hamil Tua untuk Lahirnya Putra Petir




VIVAnews (19/03/2012)--Dukungan untuk lahirnya Putra Petir terus mengalir. Sampai-sampai saya tidak mampu membalas satu per satu email yang masuk. Tanggapan tidak hanya datang dari seluruh Indonesia, tapi juga dari mancanegara. Putra-putra petir yang sekarang bekerja di luar negeri terlihat lebih antusias. Seorang doktor kita yang sejak S-1 sudah belajar di Jepang menulis bahwa kelahiran Putra Petir sebagai sebuah keharusan. Email juga datang dari ahli-ahli ITS Surabaya, ITB Bandung, UGM Jogjakarta, USU Medan, dan banyak lagi.

Dari luar kampus mengirimkan email yang juga sangat konkret. Seorang ahli yang sekarang menekuni microturbine (turbin dan generatornya berada dalam satu kemasan kompak yang sistemnya sudah bisa menyerap panas mesin itu sendiri menjadi energi listrik tambahan) langsung melangkah. Dia akan membeli mobil Kijang untuk diganti mesinnya dengan mesin mobil listrik. Dalam dua bulan sudah akan jadi mobil listrik yang bisa saya pakai ke kantor sehari-hari.

Saya sampaikan padanya, jangan menggunakan merek mobil yang sudah ada. Kita belum minta izin kepada pemilik merek itu. Belum tentu kita boleh menggunakannya. Kalau sampai kita digugat energi kita habis untuk itu. Kita akan kelelahan. Kita akan susah. Kelahiran Putra Petir bisa gagal.

Lebih baik kita ciptakan sendiri body mobil listrik nasional ini. Mungkin memerlukan waktu beberapa bulan, tapi lebih nasional. Atau kita minta izin saja ke Mendikbud Bapak Muhammad Nuh untuk bisa menggunakan body mobil Esemka. Desain mobil Esemka yang terbaru, yang sudah disempurnakan di sana-sini (seperti yang saya lihat di pameran mobil Esemka di Universitas Muhammadiyah Solo bulan lalu) sudah sangat keren.

Atau kita pakai body mobil nasional Timor yang sudah tidak diproduksi lagi itu. Mobnas Timor cukup bagus dan enak dikendarai. Masyarakat juga sudah bisa menerima Timor. Masih ada ribuan Timor saat ini berlalu-lalang di jalan-jalan. Penampilannya yang baik bisa kita manfaatkan sebesar-besarnya. Hanya saja saya masih belum tahu bagaimana prosedur perizinannya saat ini. Apakah masih harus minta izin ke Mas Tommy Soeharto atau cukup ke pemerintah, mengingat mobil Timor pernah disita BPPN pasca krisis berat 1998 lalu.

Intinya, untuk melawan kenaikan harga BBM yang pernah terjadi, sedang terjadi, dan akan terus terjadi itu, tidak ada jalan terbaik kecuali kita musuhi BBM itu sendiri. Kita jadikan BBM musuh kita bersama. Kita demo BBM-nya ramai-ramai, bukan kita demo kenaikannya. Kalau setiap kenaikan BBM kita demo, kita hanya akan terampil dalam berdemo. Tapi kalau BBM-nya sendiri yang kita musuhi, kita akan lebih kreatif mencari jalan keluar untuk bangsa ini ke depan.

Jalan terbaik adalah jangan lagi kita gunakan BBM. Kalau kita sudah tidak menggunakan BBM apa peduli kita dengan barang yang juga menjadi penyebab rusaknya lingkungan itu. Kelak, kita bersikap begini: biarkan dia naik terus menggantung sampai setinggi Monas! Kalau kita tidak lagi menggunakannya, mau apa dia!

Tanpa ada gerakan nyata melawan BBM, seumur hidup kita akan ngeri seperti sekarang ini. Seumur hidup kita harus siap-siap melakukan demo. Seumur hidup kita tidak berubah!

Kalau kita sudah tahu bahwa seumur hidup kita akan terjerat BBM seperti itu mengapa kita tidak mencari jalan lain? Mengapa kita menyerah begitu saja pada keadaan? “Mengapa? Mengapa?,” kata Koes Ploes. Anggaplah kita tidak takut kepada Koes Ploes. Tidakkah kita harus takut kepada yang menciptakan alam semesta ini? Berapa kali Allah mengatakan “Afalaa ta’qiluuun?”.

Kita pernah menjawab pertanyaan “mengapa?” itu beberapa tahun lalu. Saat program konversi minyak tanah ke elpiji dilakukan dengan sungguh-sungguh. Bukan main sulit dan beratnya meyakinkan masyarakat untuk pindah dari minyak tanah ke elpiji. Bukan main bisingnya demo dan penentangan terhadap konversi saat itu. Bukan main kecaman yang dilontarkan, sampai-sampai program itu dianggap menyengsarakan rakyat kecil.

Meski awalnya ditentang begitu hebat, didemo begitu seru dan dimaki-maki setengah mati, toh akhirnya “Purwodadi kuthane, sing dadi nyatane!”. Kenyataannya berhasil! Sekian tahun kemudian diakui konversi minyak tanah ke elpiji tersebut sebagai success story yang besar!

Hamil tua

Kalau saja tidak ada konversi itu, alangkah beratnya saat ini! Harga minyak tanah pun akan ikut naik. Yang terkena tidak lagi para pemilik mobil dan motor, juga ibu-ibu di dapur! Sekarang, naikkanlah harga minyak tanah! Ibu-ibu tidak peduli! Maka untuk mengenang kesuksesan konversi itu harusnya kini kita teriakkan: Hidup Putra-Petir! Eh, salah: Hidup SBY-JK!

Yang diperlukan adalah tekad besar untuk mengatasi persoalan besar. Dengan membanjirnya dukungan pada program mobil-motor nasional listrik BUMN, rasanya tekad itu sudah sangat besar. Situasinya sudah seperti seorang ibu yang hamil tua. Harus segera dilahirkan! Kalau tidak, akibatnya... tanya sendiri kepada ibu-ibu yang sekarang lagi hamil tua. Atau kepada ibu-ibu yang pernah hamil tua! Jangan tanyakan kepada bapak-bapak yang seperti hamil tua! Terutama hamilnya karena sudah kekenyangan menikmati bisnis BBM atau bisnis kendaraan BBM!

Tantangan terbesar mewujudkan mobil-motor listrik nasional adalah itu! Sudah terlalu besar bisnis mobil motor dengan bahan bakar BBM. Sudah terlalu besar keuntungan yang dinikmati dari bisnis kendaraan dengan bahan bakar BBM. Tidak gampang kita melawannya. Memang kita semua tentu termasuk yang harus tersindir sabda Tuhan ”Apakah kalian tidak menggunakan akal?,” itu. Tapi memang tidak mudah keluar dari kungkungan mengguritanya bisnis yang ada.

Kalau soal teknologi jelas tidak masalah. Harga baterai litium memang masih mahal. Tapi itu karena produksinya belum masal. Kalau semua beralih ke mobil/motor listrik, harga baterai itu akan turun drastis. Itu saja. Jelas ini bukan soal teknologi. Ini soal penguasaan pasar. Kalau soal teknologi, salah satunya bertanyalah kepada LIPI. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia!

Ternyata LIPI sebenarnya sudah lebih 10 tahun terakhir ini merintis penciptaan mobil dan motor listrik yang kita maksud. Prototype-nya pun sudah jadi. Di luar LIPI masih banyak yang siap melakukannya!

Seperti juga pernyataan pencipta microturbine tadi, LIPI pun mengatakan sangat siap. Kalau saya menghendaki segera naik mobil listrik yang mesinnya ciptaan LIPI, dalam hitungan dua-tiga bulan sudah bisa diwujudkan. Tinggal body-nya menggunakan mobil apa. LIPI tidak akan menciptakan body mobil. Bukan karena sulit, tapi karena sudah banyak yang mampu menciptakannya.

Kita memiliki banyak industri karoseri yang handal. Sudah pula ekspor besar-besaran. Seperti di Malang, Magelang, Surabaya, dan Bekasi. Soal karoseri kita harus bangga dengan kemampuan dan ketrampilan bangsa sendiri.

Tinggal mesin ciptaan LIPI itu kita bandingkan dengan mesin-mesin ciptaan para ahli dari universitas dan ahli dari kalangan praktisi. Bisa saja kita pilih salah satu, atau kita bicarakan bagaimana baiknya.

Vampir BBM

Saya sendiri sudah menaruh perhatian pada kendaraan listrik ini sejak menjadi direktur utama PLN. Salah satu yang membuat saya berat meninggalkan PLN adalah belum terwujudnya kendaraan listrik ini. Dalam road map yang sudah saya sampaikan kepada direksi PLN saat itu (juga saya beberkan dalam rapat kerja nasional PLN di Karawaci tahun 2010), pada akhirnya PLN harus memproduksi kendaraan listrik di akhir 2013. Yakni setelah byar-pet teratasi, setelah wabah kerusakan travo beres, setelah wabah gangguan jaringan tuntas, dan setelah perang intern lawan BBM selesai.

Waktu itu perang intern melawan BBM di PLN harus dimenangkan akhir tahun 2012. Tahun depan, rencana saya waktu itu, penggunaan BBM di PLN yang semula 9 juta kiloliter harus tinggal maksimum 2,5 juta kiloliter! Untuk itu saya membuat program “pembunuhan berencana”. Yakni mematikan pembangkit-pembangkit besar yang haus BBM seperti di Tambak Lorok (Semarang), Gresik (Jatim), Muara Karang (Jakarta), dan akhirnya Muara Tawar (Bekasi) plus Belawan (Medan).

Semua yang saya sebut itu adalah vampir-vampir BBM. Vampir-vampir itulah yang membuat PLN memboroskan uang negara puluhan triliun rupiah.

Untuk mendorong agar “pembunuhan berencana” terhadap pembangkit besar yang rakus BBM itu bisa cepat dilakukan, saya sampai menawarkan hadiah khusus. Tim PLN yang bekerja di lapangan yang bisa menyelesaikan dengan cepat pembangunan transmisi 150 kv dari Lontar ke Tangerang, akan saya beri hadiah mobil dari saya pribadi. Kalau transmisi ini berhasil dibangun, listrik untuk kawasan Jakarta utara sampai Priok tidak perlu lagi dari PLTG raksasa Muara Karang. Listriknya bisa datang dari sumber yang sangat murah di Lontar yang dialirkan dengan transmisi baru tersebut.

Akhirnya tim itu benar-benar berhasil menyelesaikan proyek sulit tersebut. Memang terlambat satu bulan dari rencana, tapi hadiah tetap saya berikan. Mobil Avanza sudah dibeli. Sayang, masih belum mobil Putra Petir!

Penyerahannya akan dilakukan bersamaan dengan dihapusnya BBM dari PLTG Muara Karang. Berkat penghapusan BBM di Muara Karang itu negara akan lebih hemat setidaknya Rp 2 triliun/tahun.

PLTG boros BBM lain seperti Gresik sudah tahun lalu tidak menggunakan BBM lagi. Demikian juga PLTGU Tambak Lorok Semarang. Sudah tidak minum BBM lagi. Dari tiga lokasi itu saja setidaknya 3 juta kiloliter BBM sudah bisa dihemat.

Tinggal tiga PLTG lagi yang masih “bandel”: Muara Tawar, Belawan, dan Bali. Masih perlu dua tahun lagi untuk menghapus BBM dari tiga lokasi itu. Untuk menghapus BBM di Belawan, masih menunggu selesainya revitalisasi LNG Arun. Dari Lhokseumawe ini akan dipasang pipa gas ke Belawan. Agar penggunaan BBM di Belawan digantikan dengan gas.

Untuk menghapus BBM di Muara Tawar masih menunggu selesainya proyek terminal apung LNG di Lampung. Terminal apung ini dibangun di Lampung sekalian untuk memenuhi kebutugan gas industri-industri besar di Cilegon. Kebetulan dari Cilegon sudah ada pipa gas yang nyambung sampai Muara Tawar!

Sedang untuk memerangi BBM di Bali, masih menunggu selesainya pembangunan transmisi 500 kv dari Jawa ke Bali. Ini transmisi yang towernya akan menjadi yang paling tinggi di dunia: 376 meter. Agar bisa menyeberangkan listrik melampaui selat Bali.

Tenaga matahari

Memerangi BBM tidak cukup hanya dilakukan untuk pembangkit-pembangkit listrik besar itu. Kita memiliki ribuan pulau kecil yang listriknya dibangkitkan dengan mesin diesel yang bahan bakarnya BBM juga. Ini juga harus dilawan. Tidak ada senjata lebih tepat kecuali tenaga surya. Karena itu industri tenaga matahari juga harus dibangun!

Minggu lalu saya sudah memutuskan agar BUMN membangun industri PV. Saat ini sudah ada delapan pengusaha bergerak di industri listrik tenaga matahari. Namun sifatnya baru merakit. Bahan-bahan solar cell-nya masih harus diimpor. Inilah yang akan diatasi oleh BUMN. PT Lembaga Elektronika Nasional (PT LEN Industri), perusahaan BUMN yang di Bandung itu, saya tugaskan mendirikan industri tenaga matahari dalam pengertian yang sesungguhnya. SDM-nya sudah mampu. Ahli-ahlinya sudah banyak. Kesungguhan dan keteguhan hati yang diperlukan.

Agar industri tenaga matahari itu nanti lebih hemat modal, tidak perlu membeli tanah dan membangun pabrik. Saya minta manfaatkanlah pabrik Industri Sandang di Karawang yang sudah lama tutup itu. Lokasinya sangat luas. Untuk 10 ha industri tenaga matahari ini hanya memerlukan sepertiga lokasi pabrik tekstil yang sudah lama mati itu.

Kita sungguh malu kalau sampai Indonesia tidak memiliki industri tenaga matahari. Negara kita sangat luas. Berada di garis katulistiwa. Mataharinya begitu jreng. Pasar kita sangat besar. Tidak masuk akal kalau kita harus impor suku cadang tenaga matahari dari Malaysia. Atau dari negara bersalju yang tidak punya cukup matahari! “Mengapa? Mengapa?,” tanya Koes Ploes.

Mau tidak mau BBM ini memang harus dilawan dari dua arah: dari gas dan dari listrik. Kendaraan umum yang besar-besar, silakan beralih ke gas. Kereta api harus beralih ke listrik, sebagaimana KRL. Kendaraan pribadi harus beralih ke listrik. Bukan hanya akan hemat BBM juga akan sangat baik untuk lingkungan hidup. Kendaraan listrik tidak menimbulkan emisi sama sekali!

Jadi, ide mobil motor listrik ini tidak muncul tiba-tiba. Hanya saja kenaikan harga BBM yang menghebohkan itu harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melawan belenggu hantu BBM. Dua tahun lalu saya sudah mencoba sepeda motor listrik di Bandung. Ciptaan anak bangsa sendiri. Saya keliling kota Cimahi dengan motor listrik. Setelah itu saya membeli motor listrik sekaligus dua buah. Setiap hari motor itu digunakan oleh sopir yang ada di rumah saya di Surabaya. Saya minta segala macam kekurangannya dicatat. Setiap kali ke Surabaya saya diskusi dengan pak sopir mengenai kelebihan dan kekurangan motor listrik itu. Catatan itulah yang terus saya diskusikan dengan para pegiat motor listrik.

Dulu, ketika masih bisa sering ke Tiongkok, saya juga mengunjungi pabrik mobil dan motor listrik. Tentu juga sering mencobanya. Saya tidak ragu lagi bahwa mobil-motor listrik harus segera di lahirkan di Indonesia. Putra Petir tidak boleh terlalu lama berada dalam kandungan.

Situasinya sudah hamil tua. Harus segera dilahirkan!


Dahlan Iskan, Menteri Negara BUMN


-setuju pak Menteri- Selengkapnya...

Belajar Bijak dengan Pajak

"Ada dua hal yang gak bisa dihindari dalam kehidupan, kematian dan pajak"



Akhir-akhir ini media kerap dipenuhi oleh kasus indikasi korupsi pegawai pajak. Banyak penolakan terhadap pajak terjadi di masyarakat. Ya iyalah pada dasarnya gak ada manusia yang rela dan ikhlas bayar pajak. Tapi kaya kata Adam Smith, ada dua hal di dunia ini yang gak bisa dihindari, kematian dan pajak. Jadi, mau gak mau, suka gak suka, kita mesti bayar pajak. Terus kalo keadaannya kayak sekarang,ngapain sih kita kudu bayar pajak? Nanti uangnya dikorupsi juga.. Kalo udah stag di alasan ini, kita kudu inget hal yang paling dasar kenapa kita kudu bayar pajak. Ayo belajar lagi tentang fungsi pajak (ini pelajaran dasar pertama di banyak buku tentang Pengantar Hukum Pajak).

Pertama, pajak itu punya fungsi budgetair. Artinya pajak itu jadi sumber penerimaan negara. Yuk sedikit peduli sama APBN kita. Ternyata 80% APBN itu dibiayai oleh pajak lo. Terus sisanya siapa yang biayai? Utang? Hm.. utang? Ya itu salah satunya. Lainnya itu ada dari hasil pengolahan bumi, air, dan kekayaan alam lain, keuntungan perusahaan negara, denda dan penyitaan dari pelanggaran hukum, PNBP, pencetakan uang, hibah, atau hadiah. Utang itu Cuma salah satu dari mereka. Dulu, sumber penerimaan terbesar kita itu migas. Tapi kita tau sendiri kalo migas itu terbatas jumlahnya. Akhirnya sumber penerimaan bergeser ke pajak. Hal ini gak Cuma terjadi di Indonesia kok, negara-negara maju lainnya juga menggantungkan penerimaan dari pajak. Kalo kita gak mau bayar pajak, trus APBN kita ditutup pake apa donk? Masa mau utang lagi..

Fungsi yang kedua itu regulerend. Pajak itu ada buat ngatur hal-hal di masyarakat juga. Misalnya buat melindungi produk dalam negeri, ada bea masuk yang tinggi biar produsen dalam negeri gak kolaps. Pajak atas barang mewah kayak yacht, mobil pribadi dengan kriteria tertentu, rumah sangat mewah, pesawat pribadi, dikenakan pajak tambahan. Pasti pada tanya kenapa harus ada tambahan pajaknya..itu kan hak pribadi mo beli apa. Nah gaya hidup sangat mewah itu gak bagus juga buat perekonomian lo. Budaya konsumerisme malah bisa bikin inflasi tinggi, ketergantungan berlebihan terhadap produk tertentu, kesenjangan sosial yang terlalu mencolok, dan sebagainya. Makanya ada tuh pajak tambahannya.

Fungsi selanjutnya adalah stabilisasi. Misalnya uang yang beredar di masyarakat itu terlalu banyak, maka pemerintah harus menyerap uang itu. Soalnya nanti malah inflasi yang tinggi kayak di Zimbabwe itu. Salah satu instrumen buat narik itu ya pajak (salah satu lo ya, soalnya masih ada instrumen lainnya). Dengan pengenaan pajak, diharapkan harga-harga bisa lebih stabil.

Yang terakhir itu fungsi redistribusi. Fungsi ini tercermin di definisi pajak. Pajak yang disetor ke negara (lewat bank ato kantor pos lo ya bukan kantor pelayanan pajak) nantinya akan digunakan buat kepentingan umum. Misalnya bangun jalan, bangun rumah sakit, bangun sekolah, biaya keamanan, dan buanyak lagi fungsinya. Nah kalo gak ada pajak, terus siapa donk yang mau menyediakan semua itu?
Tujuan pemungutan pajak itu baik, kalo ada kasus-kasus gitu bukan diselesaikan dengan tidak membayar pajak. Alasannya karena takut uangnya dikorupsi. Padahal kita sendiri kadang justru menyediakan sarana untuk korupsi. Kalo gitu langkahnya adalah dengan mengawasi penggunaan pajak. Bukan gak bayar pajak..
Setor Pajaknya, Awasi Penggunaannya  Selengkapnya...

Belajar dari kesalahan AS


Pakar ekonomi dari Universitas Chicago Amerika Serikat Profesor Randall Kroszner dalam ceramah bertema "Crisis Response in America and Europe: Implication for Indonesia and Global Economy" di gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Jakarta mengatakan, jika Indonesia ingin terhindar dari krisis, kekuasaan lembaga keuangan seperti bank dan penjamin kredit serta asuransi harus dibatasi. (Media Indonesia, 21 Maret 2012)

Yap, secara pribadi saya setuju dengan pernyataan beliau. Kita harus juga belajar dari AS atas krisis yang melanda beberapa waktu kemarin. Masih ingat kan gimana Lehman Brothers dan American Group terlalu mudah kasih jaminan, pas ada gagal bayar baru pada kelabakan. Saat ini pola pemberian kredit di Indonesia hampir kaya AS sebelum terjadinya krisis, jadi kita harus berhati-hati juga. (terlepas dari Kroszner adalah seorang Republikan)

Menurut Gubernur BI, untuk pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumtif diharapkan dapat lebih lambat. Pertimbangan lain adalah agar pemberian kredit tidak dilakukan tanpa down payment yang jelas. Membaca salah satu artikel di Kompas terkait dengan niat BI untuk mengurangi pertumbuhan kredit konsumtif berupa DP kredit kendaraan bermotor (setuju banget dengan langkah ini) dan pengaturan besaran LTV (loan to value) untuk kredit kepemilikan rumah. Rasio LTV KPR adalah maksimal 70% dari sebelumnya 80%. Sendangkan DP motor minimal 25% dan mobil minimal 30%. Sedangkan untuk keperluan produktif, kebijakannya dibedakan lagi, dengan DP minimal 20%. Bapepam LK juga menyepakati aturan yang sama untuk lembaga pembiayaan walau besarnya agak beda. (lebih jelasnya baca Surat Edaran Bank Indonesia No 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor sendiri ya)

Pertumbuhan kredit yang dikucurkan perbankan untuk KPR cukup tinggi lho. Dalam dua tahun terakhir KPR tumbuh 29% dari Rp136,5 triliun (Desember 2010) menjadi Rp176,5 triliun (Desember 2011). Dari jumlah itu, flat dan apartemen tumbuh mencapai 47%. Padahal pertumbuhan kredit keseluruhan hanya sebesar 24-25%. Kita harus berhati-hati juga pada akhirnya jika melihat angka sebesar ini.

Kebijakan pembatasan rasio LTV dan DP ini banyak ditentang karena dianggap akan semakin memberatkan dan memperkecil kesempatan masyarakat memiliki rumah. Dari sisi pengembang juga mengeluhkan kebijakan ini karena di satu sisi akan memberikan keamanan untuk pengembang karena DP yang besar, tapi pada akhirnya akan merugikan karena pembeli akan berkurang.

Sebenarnya kebutuhan perumahan sangat tinggi (ya iyalah seiring dengan jumlah penduduk juga), tapi kita juga harus melihat kemampuan masyarakat terutama menengah ke bawah yang belum begitu baik. Hal yang ditakutkan adalah terjadinya gagal bayar seperti yang dialami oleh AS. Pasar properti memang mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan cepat ini sampai pada titik tertentu akan membawa dampak baik, tapi kita juga harus waspada terhadap dampak buruknya. Oleh karena itu memang dibutuhkan kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Selain KPR, kebijakan BI juga meliputi kebijakan kendaraan bermotor. Kebutuhan kendaraan bermotor merupakan kebutuhan yang juga tak bisa dihindarkan seiring dengan peningkatan mobilitas penduduk. Dengan adanya batasan ini, diharapkan dapat memperkecil risiko gagal bayar. Selengkapnya...

Penghematan BBM dan semua tentangnya....

Isu kenaikan BBM mengandung banyak kontroversi di masyarakat. BBM yang dianggap memiliki efek domino yang besar, akan mempengaruhi banyak sektor terkait dengan isu kenaikannya. Di tengah fluktuasi harga minyak dunia, kenaikan BBM merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Di samping itu, masyarakat juga tidak buta, bisa kita lihat di area SPBU, masih banyak mobil pribadi mengonsumsi BBM bersubsidi. Hal ini menunjukkan bahwa subsidi BBM justru tidak tepat sasaran. Sekitar 70% pengguna BBM bersubsidi justru mobil pribadi.

Subsidi BBM diberikan terhadap selisih dari harga BBM di pasaran dengan harga keekonomian. Misalnya harga keekonomian BBM saat ini RP8.125,00 (termasuk alfa yang ditetapkan) dan harga BBM dipatok Rp4.500,00, maka atas selisih sebesar Rp3.625,00 ditanggung pemerintah berupa subsidi. Subsidi BBM saat ini merupakan pos subsidi yang besar dalam APBN. Bagaimana tidak, dengan beban subsidi per liter yang cukup besar itu akan mengurangi kesempatan pemerintah untuk mengalokasikan dana APBN kepada sektor lain. Belum lagi sektor pendidikan yang dipatok 20% dari APBN akan lebih mempersempit fiscal space pemerintah.

Kenaikan BBM ini pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 dan 2008, pemerintah pernah menaikkan BBM. Kenaikan BBM yang cukup signifikan menghasilkan penghematan yang cukup besar juga. Subsidi BBM yang dihemat itu sebagian dialirkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk dana segar berupa BLT. Hal yang sama akan dilakukan pemerintah baru-baru ini. Apakah skema ini tetap pantas digunakan?

Menurut Anggito Abimanyu, kenaikan BBM sebesar Rp1.500 per liter agak di luar kewajaran. Angka itu akan menghasilkan penghematan sebesar Rp40 triliun. Namun angka itu melampaui kenaikan pendapatan per kapita rata-rata. Mengapa? Karena kenaikan BBM sebesar 33% melampaui kenaikan pendapatan per kapita rata-rata yang hanya sebesa 25%. Angka yang wajar adalah Rp1.000 per liter. Kenaikan ini hanya sebesar 22% dan masih di bawah kenaikan rata-rata pendapatan per kapita.

Hal kedua yang harus dipikirkan adalah skema BLSM yang sekarang marak di bahas. Kenaikan BBM tahun ini tidak seperti tahun 2005 maupun 2008. Dengan perkiraan inflasi 6-7%, maka kenaikan BBM ini sebesar 33%. Sedangkan kenaikan tahun 2005 mampu menarik kenaikan inflasi hingga 17,8%, sedangkan tahun 2008 menarik sebesar 11,03%. Tahun 2005 dan 2008 pemerintah mengucurkan skema BLT sebagai penyeimbang kenaikan BBM. Namun, pada kenyataannya skema itu justru banyak menimbulkan masalah. Masalah yang ditimbulkan antara lain, penggunaan BLT untuk hal-hal yang bersifat konsumerisme, penyerahan yang tidak tepat sasaran, dampak psikologis yang diderita oleh pemerintah daerah setempat, dan masih banyak lagi. Tahun ini, pemerintah berencana mengeluarkan BLSM sebesar Rp150 ribu perbulan selama 8 bulan. Angka ini dikatakan cukup besar mengingat kenaikan BBM tahun tidak sebesar tahun 2005 dan 2008. Masih banyak pilihan subsidi di luar skema BLSM dalam meredam dampak kenaikan BBM. Misalnya pengalihan pada subsidi pupuk yang sudah dikenal memiliki efek domino yang besar. Atau bisa juga dengan mengalihkan untuk memperbaiki sarana transportasi.

Selain penghematan subsidi BBM, perlu juga dipikirkan untuk konversi energi. Masih terekam dalam ingatan kita program konversi minyak tanah (kerosin) menjadi LPG. Hal itu sangat penting karena subsidi kerosin merupakan subsidi terbanyak dari proporsi subsidi BBM kita. Dan disadari atau tidak, program ini cukup berhasil. Pemerintah menyalurkan bantuan berupa kompor dan tabung gas pertama yang notabene merupakan barang modal sehingga bisa digunakan langsung oleh masyarakat. Dalam penghematan BBM kali ini, perlu juga dipikirkan langkah untuk melakukan penghematan jangka panjang. Misalnya dengan konversi ke BBG untuk kendaraan tertentu ataupun pengalihan dana subsidi untuk memperbaiki sarana transportasi umum. Kelayakan transportasi umum merupakan salah satu pertimbangan penggunaan kendaraan pribadi di jalan raya.

Selain itu, program pemerintah lainnya juga harus saling mendukung. Dalam rangka penghematan BBM ini justru kemudahan pengucuran kredit diperluas, terutama kredit mobil. Realitanya, banyak orang berusaha untuk memiliki mobil namun tidak memperhatikan dampak jangka panjangnya. Misalnya mobil Avanza masih minum premium. Pembatasan kendaraan ini juga perlu untuk dipikirkan dalam rangka mengurangi konsumsi BBM kita.

Mendekati masa kenaikan BBM, secara tidak langsung akan menambah jumlah konsumsi BBM. Hal ini merupakan kecenderungan masyarakat kita. Pemerintah harus dapat mengantisipasi kenaikan konsumsi BBM ini. Banyaknya kasus penimbunan BBM, antrian panjang di SPBU, merupakan fenomena yang wajar mendekati kenaikan BBM. Suply BBM harus dilebihkan menjelang dan pasca kenaikan BBM ini. Jika ada yang melakukan penimbunan, efek terhadap pasar tidak akan lama dan tidak besar. Pengamanan terhadap penjualan di SPBU harus sudah dilakukan sebelum rencana kenaikan ini.

Kita harus senantiasa ingat bahwa BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, harus selalu mencari cara untuk mengurangi ketergantungan kita pada penggunaan BBM ini. Energi alternatif, konversi energi, dan langkah lainnya senantiasa dilakukan dalam rangka pengurangan ketergantungan kita pada BBM. Bahkan di beberapa negara mengenakan pajak tambahan atas penggunaan BBM. Jadi wajar kok kalau pemerintah melakukan penghematan BBM. Selengkapnya...

Rabu, 14 Maret 2012

Pajak Lingkungan

Well, may be i am a little late..tapi diantara sekian banyak polemik mengenai citra institusi perpajakan di Indonesia, saya tertarik dengan pembahasan mengenai pajak lingkungan. Apa yang dimaksud pajak lingkungan? Apakah ia merupakan bentuk pajak yang baru? Mungkinkah ia diterapkan di saat masyarakat sedang gencar2nya melakukan resistensi terhadap pajak?




Usulan mengenai pajak lingkungan sebenarnya telah lama disuarakan. Entah karena gemanya yang kurang keras, atau bagaimana, tetapi usulan ini cenderung dimentahkan. Pajak lingkungan adalah pengenaan pajak terhadap sektor tertentu yang berpotensi merusak lingkungan sebagai konsekuensi dari kegiatan usaha mereka yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Pajak lingkungan sendiri bisa berupa bentuk pajak yang baru, yang bisa masuk sebagai pajak pusat maupun pajak daerah, akan tetapi bisa juga merupakan pengembangan dari jenis-jenis pajak yang sudah ada. Misalnya bagi industri yang merusak alam, maka dikenai disinsetif pajak dengan penerapan tarif PPh lebih tinggi.

Pelaku usaha dengan sigap menolak usulan ini dengan alasan pengenaan pajak lingkungan akan menambah beban pajak mereka dan menimbulkan pajak berganda. Menambah beban pajak mereka memang benar. Akan tetapi perlu diingat, pajak lingkungan ini dikenakan karena kegiatan usaha mereka membawa kerusakan pada alam. Kerusakan alam ini bisa terjadi karena pencemaran yang dilakukan, kelalaian maupun kesengajaan tidak melakukan rehabilitasi lingkungan, pengolahan limbah industri yang tidak baik, dan sebagainya. Akibatnya terjadilah kerusakan lingkungan yang memiliki efek domino baik bagi lingkungan itu sendiri maupun keuangan pemerintah. Banjir, kekeringan, longsor, merupakan contoh dari akibat yang ditanggung oleh lingkungan. Nantinya hal ini akan berdampak secara langsung kepada publik maupun pemerintah. Contoh yang nyata, gencarnya pemberitaan di media mengenai pertambangan dan tuntutan untuk melakukan tinjauan ulang terhadap izin pertambangan karena kerusakan yang mereka timbulkan (yang suka baca koran pasti tau donk ya), adalah salah satu alasan mengapa pajak lingkungan wajar dikenakan. Pemberian izin pertambangan meningkat jumlahnya menjelang pemilu. Hal ini wajar. Namun, konsekuensi dari pemberian izin yang tidak disertai dengan pertimbangan yang matang akan berdampak panjang. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya sesuai dengan amanat UUD 1945 bahwa pemerintah harus mengutamakan kemakmuran rakyat, maka pengenaan pajak lingkungan dirasakan menjadi alternatif yang tepat.

Alasan penolakan kedua adalah timbulnya pajak berganda. Mari kita liat definisi pajak berganda. Pajak berganda terdiri dari pajak berganda ekonomis dan pajak berganda yuridis. Pajak berganda ekonomis adalah pengenaan lebih dari satu kali pajak terhadap objek ekonomi yang sama. Objek yang dikenakan misalnya adalah penghasilan. Bila pajak lingkungan dikenakan dalam bentuk disinsentif PPh, maka tidak terjadi pajak berganda karena masih dikenakan pajak satu kali atas penghasilan hanya porsinya yang lebih tinggi. Pajak berganda yuridis adalah pengenaan pajak lebih dari satu kali terhadap objek ekonomi yang sama berdasarkan yurisdiksi yang sama. Pajak lingkungan yang diterapkan dengan menggunakan instrumen PPh ataupun pajak daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, menggunakan yuridiksi yang berbeda. Oleh karena itu tidak ada pajak berganda yang ditimbulkan.

Menimbang dari cost and benefit diterapkannya pajak lingkungan, maka kita tidak dapat hanya membandingkan dampaknya terhadap pelaku usaha itu sendiri. Pengurangan laba pelaku usaha karena penerapan pajak lingkungan masih belum seimbang dengan biaya atas kerusakan yang ditimbulkan. Sanksi bagi perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan ternyata tidak benar2 ditegakkan. Izin pertambangan itu salah satu bukti yang nyata. Jangan mentang2 karena sumber daya alam kita melimpah lantas kita bisa dengan seenaknya mengeksploitasi alam. Be wise and keep our nature for better future ya! Selengkapnya...