Selasa, 23 November 2010

indonesia-malaysia

Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan dan Pulau Miangas, Sulawesi Utara
Kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of SJustice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 adalah ibarat rapor merah bagi diplomasi Indonesia.Namun I Made Arsana berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.
Apa dasar kemenangan Malaysia?Menurut putusan ICJ pada 17 Desember 2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif.Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan.Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut.
Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara.Pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005.Matinya sekretaris desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI.Merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippina.Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi.Mereka merasa lebih dekat dengan Philippina daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao dan transaksi sehari-harinya menggunakan Philippines Pesos daripada Rupiah. Selengkapnya...

antara hulu dan hilir

Keadaan pertumbuhan industri di Indonesia
Berdasarkan data dari Kadin, pertumbuhan industri Indonesia mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Hingga akhir tahun ini pertumbuhan industri menurun sebesar 1,8%. Persoalan yang mendasar pada industri dasar diantaranya adalah ketergantungan yang besar terhadap barang baku impor. Hal tersebut dikarenakan sektor industri bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi, dan komponen belum berkembang.

Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi, dari hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.

Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.

Pengenaan bea masuk industri
Pengenaan tarif bea masuk yang lebih tinggi sebaiknya dikenakan pada industri hilir, yaitu industri yang menghasilkan barang jadi. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri. Industri hilir yang ada di dalam negeri dapat tetap berproduksi dan bersaing dengan produk luar negeri. Bea masuk yang tinggi ini membuat harga produk dalam negeri kompetitif terhadap produk luar negeri yang sebagian besar lebih rendah dari produksi dalam negeri.

Untuk industri hulu yang menghasilkan barang mentah sebaiknya dikenakan bea masuk yang kecil atau bahkan adanya fasilitas pembebasan bea masuk untuk komoditi yang tidak dapat disediakan oleh bangsa kita. Tujuannya untuk memacu pertumbuhan industri dalam negeri dalam memperoleh bahan baku dengan harga yang murah. Jumlah industri hulu di Indonesia untuk sebagian besar komoditi terbilang rendah. Misalnya untuk industri plastik saja hanya sekitar lima hingga enam persen yang bergerak di sektor hulu. Hal tersebut mengakibatkan industri hilir masih harus menggantungkan sebagian besar kebutuhannya akan barang mentah pada produk impor. Maka jika bea masuk diterapkan lebih tinggi pada industri hulu, secara tidak langsung kita akan mempercepat proses deindustrialisasi.

Kebijakan bea masuk yang rendah diterapkan untuk industri hulu yang berdampak luas pada industri hilir sehingga dapat membantu menekan biaya produksi industri hilir. Selain itu kebijakan bea masuk atas industri hulu juga harus memperhatikan ketersediaan dalam negeri. Untuk barang-barang yang tersedia cukup banyak di dalam negeri dikenakan bea masuk yang lebih tinggi. Sehingga industri hilir dalam negeri dapat memperoleh bahan bakunya dari industri hulu dalam negeri. Dengan menekan biaya produksi industri hilir, membuat industri hilir mampu bersaing.

Misalnya untuk industri hilir baja. Penghapusan bea masuk untuk baja dipandang dapat memacu pertumbuhan kedua sektor industri tersebut. Selama ini ketersediaan baja dari industri hulu dalam negeri dianggap belum mencukupi kebutuhan pasokan baja industri hilir. Selain itu, dengan pengenaan bea masuk tersebut akan memacu industri hulu baja dalam negeri agar lebih kompetitif dengan menaikkan kualitas produksinya.

Selain itu kebijakan pengenaan bea masuk yang lebih kecil untuk industri hulu pun harus diimbangi dengan kebijakan yang lain seperti kuota impor baja luar negeri atau pun pihak yang melakukan impor. Tarif bea masuk dibuat agar industri hilir dapat memilih apakah akan membeli produk industri hulu dalam negeri ataupun impor dari luar negeri.

Jadi tarif bea masuk akan progresif. Dari industri hulu yang akan dikenakan tarif paling rendah, meningkat pada industri barang setengah jadi, dan tarif paling tinggi dikenakan pada barang jadi atau industri hilir. Selengkapnya...

Selasa, 16 November 2010

perlakuan pajak SJSN

Dilihat dari aspek perpajakan, iuran yang terkait dengan jaminan sosial dikecualikan dari pengenaan pajak. Berdasarkan pasal 4 ayat 3 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi dwi guna, beasiswa, kematian, kecelakaan, dan asuransi kesehatan dikecualikan dari objek penghasilan. Begitu juga iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh menteri keuangan. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada bidang tertentu yang diatur dengan keputusan menteri keuangan juga dikecualikan dari objek pajak.
Pengeluaran perusahaan terkait dengan pembayaran premi asuransi karyawannya boleh dikurangkan dari penghitungan penghasilan kena pajaknya karena akan menjadi tambahan penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. Jika disimpulkan, maka pengenaan pajak terkait dengan pembayaran premi jaminan sosial dilakukan pada penghitungan penghasilan karyawan pribadinya. Ketika karyawan tersebut menerima uang manfaat jaminan sosial akan dikecualikan dari pengenaan pajak.
Bagi pihak penyelenggara jaminan sosial, dana premi yang diterima dikecualikan dari penghitungan pengenaan pajak. Begitu juga dengan penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu yang diatur oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak bersifat spekulatif dan tidak memiliki risiko yang tinggi.
Beberapa peraturan pajak yang terkait dengan pelaksanaan program SJSN diantaranya:
1. Pembayaran premi Jamsostek diatur dengan PP nomor 14 tahun 1993 jo. PP nomor 28 tahun 2002.
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja, yaitu:
Kelompok I = Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan
Kelompok II = Premi sebesar 0,54% x Gaji sebulan
Kelompok III = Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan
Kelompok IV = Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan
Kelompok V = Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan.
Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Gaji sebulan yang ditanggung oleh pengusaha dengan besar biaya santunan sebesar 12 juta yang terdiri dari 10 juta untuk santunan kematian, 2 juta untuk biaya pemakaman sesuai dengan PP nomor 76 tahun 2007, dan santunan berkala.
Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) :
- Pegawai berkeluarga = 6% x Gaji sebulan (maksimum gaji Rp 1.000.000,00).
- Pegawai bujangan = 3% x Gaji sebulan (maksimum gaji Rp 1.000.000,00).
Atas premi JKK, JKM, dan JPK yang dibayar oleh pemberi kerja dimasukkan sebagai penghasilan karyawan (menambah penghasilan bruto).
Jaminan Hari Tua (JHT) ;
- 3,7% x Gaji sebulan (jika dibayar pemberi kerja) ; dan
- 2% x Gaji sebulan (jika dibayar sendiri oleh karyawan).
Premi jaminan hari tua (JHT) yang dibayar pemberi kerja tidak dimasukkan sebagai penghasilan karyawan (tidak menambah penghasilan bruto karyawan). Pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat karyawan yang bersangkutan menerima Jaminan Hari Tua dari PT. Jamsostek (Final). Premi jaminan hari tua yang dibayar sendiri oleh karyawan merupakan pengurang penghasilan bruto bagi karyawan dalam perhitungan PPh karyawan tersebut.
Iuran Pensiun
Perlakuan pajak atas iuran pension yang ditetapkan berdasarkan nominal, bukan persentase penghasilan, sama dengan JHT. Atas yang dibayarkan sendiri oleh karyawan yang bersangkutan akan menjadi pengurang penghasilan bruto. Atas yang dibayarkan oleh perusahaan, tidak menambah penghasilan bruto.
2. Uang manfaat pension, jaminan hari tua, dan tunjangan hari tua yang dibayar sekaligus dikenakan pajak final yang diatur dengan PP nomor 68 tahun 2009 yaitu sebesar:
- 0% = 0-50.000.000
- 5% = >50.000.000
Yang dimaksud dengan dibayarkan sekaligus adalah pembayaran atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan seluruhnya atau dibayarkan sebagian atau dibayarkan bertahap sepanjang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
3. Uang manfaat pension, jaminan hari tua, dan tunjangan hari tua yang dibayarkan berkala setiap bulan akan mendapat pengurang biaya pension sebesar 5% dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp2.400.000,00 selama satu tahun atau Rp200.000,00 selama sebulan berdasarkan PMK 250/ PMK. 03/ 2008.
4. Bidang-bidang investasi tertentu PMK 234/ PMK.03/ 2009 Oleh karena maksud pembebasan PPh ini adalah untuk mengurangi beban para peserta pensiun (baca : pensiunan),dan mengurangi penyalahgunaan dana peserta pensiunan oleh dana pensiun dengan menanamkan dana tersebut pada produk-produk investasi yang “tidak aman” (beresiko tinggi), maka kriteria penetapan bidang usaha tertentu adalah bidang usaha yang tidak bersifat spekulatif dan beresiko tinggi.
Menteri Keuangan menetapkan tiga jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh, yaitu:
1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), surat berharga syariah Negara, dan surat perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
3. Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku mulai tanggal 29 Desember 2009.
5. Atas perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia yang membayarkan premi pada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pajak 20% berdasarkan pasal 26 UU PPh dikalikan dengan perkiraan neto sebesar 5% sehingga tarif efektifnya sebesar 1% dari jumlah bruto
Sehubungan dengan adanya perbedaan perlakuan atas jasa asuransi menurut ketentuan perpajakan, maka dalam melaksanakan pembukuan dilakukan secara terpisah. Misalnya PT Jamsostek menyelenggarakan pembukuan terpisah atas JKK, JPK, dan JHT. Pemisahan pembukuan ini terkait penghitungan kewajiban perpajakan atas jasa jaminan sosial yang termasuk SJSN dan yang bukan SJSN. Selengkapnya...

SJSN

Apa itu SJSN?

SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) adalah suatu program jaminan sosial yang diharapkan mampu menjamin seluruh rakyat Indonesia. SJSN terbagi menjadi lima komponen jaminan utama yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Penyelenggaraan SJSN ini sebagai wujud dari pelaksanaan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Pelaksanaan UU SJSN diatur oleh UU nomor 40 tahun 2004. Pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Sedangkan pelaksananya adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dalam penyelenggaraannya akan bertanggung jawab kepada presiden. PT (Persero) Jamsostek, PT (Persero) Taspen, PT (Persero) Askes, dan PT (Persero) Asabri akan menjadi administrator BPJS.

Sejak pemberlakuan UU tentang SJSN, seharusnya semua ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan jaminan sosial tersebut selaras dengan UU SJSN. Dimulai dari hal yang paling mendasar mengenai bentuk BPJS hingga pengelolaan dana jaminan sosial. Menurut UU SJSN, BPJS adalah badan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Mengingat tujuan pembentukannya, maka BPJS adalah badan nirlaba yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan peserta. Sedangkan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang berbentuk PT (Persero) dan BUMN yang modalnya berasal dari modal saham yang menunjukkan bahwa badan tersebut bersifat profitable.

Salamuddin Daeng, peneliti pada Institute for Global Justice (IGJ) mengatakan bahwa meskipun perusahaan asuransi yang rencananya akan ditunjuk negara sekalipun adalah BUMN, tidak ada jaminan fungsi sosialnya dapat dilaksanakan. Ini karena jika dilihat dari orientasi ekonominya, BUMN-BUMN yang dimaksud adalah perusahaan yang berorientasi pada profit yang tidak ubahnya dengan perusahaan swasta lainnya. Belajar dari krisis keuangan global yang melanda AS dan kemudian menular ke Eropa, Jepang, dan bahkan negara-negara berkembang, ini sebagian besar merupakan akibat ulah perusahaan-perusahaan asuransi. Pengalaman hancurnya perusahaan-perusahaan asuransi AS merupakan fakta bahwa menyerahkan urusan jaminan sosial dan asuransi sosial pada sektor swasta sama sekali bukan hal yang tidak berisiko.

Proses bisnis SJSN

Untuk melaksanakan UU SJSN dibentuk BPJS. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Selain itu juga terdapat DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Selain itu DJSN juga berfungsi sebagai pengawas operasional teknis dari BPJS. Pemerintah harus menetapkan fungsi pengawasan apakah terletak pada sekretariat DJSN atau Bappepam LK.

Hasil pengelolaan dan jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Prinsip pengelolaan dana jaminan sosial dalam ketentuan ini adalah hasil berupa deviden dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta. Jaminan sosial BPJS wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum. Cadangan teknis menggambarkan kewajiban BPJS yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di mata depan peserta.

Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS. Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan BPJS dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya pemerintah dapat menetapkan besarnya manfaat pensiun ketika sedang kekurangan dana.

Iuran SJSN ditanggung bersama antara pemberi kerja, pegawai, dan pemerintah. Untuk sector formal, antara pemberi kerja dan pegawai akan menanggung bersama berdasarkan persentase tertentu dari upah. Sedangkan untuk sector informal berdasarkan nominal tertentu atau persentase tertentu dari upah. Untuk informal yang tergolong miskin akan ditanggung oleh pemerintah sedang untuk informal yang tidak tergolong miskin akan ditanggung sendiri.

Melihat dari proses bisnis SJSN, maka pengeluaran negara yang terkait dengan SJSN akan meliputi tiga hal yaitu:

a. Pengeluaran terkait dengan pembayaran dana jaminan sosial bagi PNS dimana negara bertindak sebagai pemberi kerja;

b. Pengeluaran terkait dengan pembiayaan untuk sektor informal yang tergolong miskin;

c. Pengeluaran terkait dengan lembaga-lembaga yang mendukung berjalannya SJSN seperti untuk DJSN dan Sekretariat, maupun pengawasan dan pengendalian operasional BPJS, dan penegakan hukum.

Agar SJSN dapat dimulai, beberapa fungsi dan proses pendukung pokok harus telah dikembangkan dan dilaksanakan. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:

· Penerbitan nomor indentitas tunggal (Single Identity Number). Setiap orang yang menjadi anggota SJSN harus memiliki nomor indentitas tunggal. Setiap orang memiliki nomor indentitas dan tidak seorangpun yang memiliki nomor indentitas lebih dari satu.

· Prosedur administrasi program SJSN. Fungsi harian yang harus dilakukan oleh BPJS yang bertanggung jawab untuk masing-masing program SJSN harus diidentifikasi dan proses bisnis untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut harus disusun.

· Manajemen keuangan. Manajemen keuangan meliputi penentuan tarif kontribusi, persiapan model-model keuangan dan proyeksi keuangan, perhitungan cadangan, penyusunan laporan aktuaria, analisis statistik, persiapan pembuatan buletin statistik, laporan tahunan, dll.

· Pengumpulan iuran dan data serta penegakan hukum. Iuran dan data-data keanggotaan harus dikumpulkan setiap bulan untuk semua peserta kelima program jaminan sosial. Proses ini harus dirancang dan diotomatisasi. Pemerintah juga harus menegakkan aturan pembayaran iuran jaminan sosial dan memidanakan pengusaha dan pekerja yang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

· Pengawasan dan pengendalian terhadap BPJS. Undang-undang SJSN mengindikasikan bahwa DJSN bertanggung jawab untuk mengawasi BPJS. Namun, DJSN adalah sebuah lembaga politis yang tidak memiliki staf untuk mengawasi dan tidak memiliki keahlian teknis aspek operasional BPJS.

· Edukasi publik. Ketentuan, hak-hak, dan kewajiban peserta SJSN harus dikomunikasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat juga harus memahami semua lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem SJSN dan peran masing-masing lembaga tersebut. Selain itu, edukasi kepada media secara khusus diperlukan untuk memastikan adanya pemberitaan yang akurat. Edukasi kepada Parlemen juga diperlukan untuk memastikan mereka mengerti alasan, tujuan, dan kepentingan dari berbagai program SJSN dan lembaga-lembaganya. Pemerintah harus memutuskan lembaga mana saja yang akan bertanggung jawab untuk setiap fungsifungsi tersebut dan memastikan bahwa lembaga tersebut memiliki staf, anggaran, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk beroperasi secara efektif.

Selengkapnya...

Kamis, 11 November 2010

Negara Islami

Sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia saat ini, perilaku kita justru kalah Islami dengan Negara lain yang jumlah umat muslimnya tidak mayoritas. Mengapa hal itu bias terjadi? Ibadah bukan hanya sekedar sholat, puasa, maupun haji. Ibadah juga tercermin dalam kehidupan kita sehari-hari. Tidak akan membicarakan tentang Islam secara mendalam. Namun akan melihat sisi keislamian dari diri kita. Dari hal yang paling kecil.

Membuang sampah pada tempatnya. Dari saat kita masih belum bersekolah hingga kini, kita tahu bahwa sampah dibuang di tempat sampah. Instropeksi diri kita masing-masing, meresapkah perkataan tersebut pada perilaku kita? Apa yang kita lakukan jika kita tidak menemukan tempat sampah? Di beberapa Negara, membuang sampah di sembarang tempat akan mendapat denda yang jauh lebih mahal dari sampah yang kita buang itu tentunya. Di balik diberlakukannya aturan tersebut, pemerintah Negara tersebut menyadari bahaya yang ditimbulkan dari membuang sampah secara sembarangan. Bukanlah hal yang berat untuk membuang sampah di tempat sampah yang telah tersedia. Jika tidak ada tempat sampah, peganglah dulu hingga kita menemukan tempat sampah. Bukankah kebersihan sebagian dari iman?

Tepat waktu. Menghargai waktu menjadi salah satu ciri orang sukses. Begitu pula dengan budaya menghargai waktu menjadi salah satu indicator majunya suatu Negara. Di Jepang, budaya menghargai waktu meresap pada tiap warganya. Satu detik saja terlewat, menandakan mereka melewatkan sebuah kesempatan berharga. Maka jangan heran bila orang-orang di sana berjalan sangat cepat. Budaya jam karet dikatakan sebagai budaya kita. Melestarikan budaya memang kewajiban setiap Negara. Namun bukan budaya yang seperti ini yang dimaksud. Jika berjanji dengan orang kita, telat satu hingga dua jam adalah hal biasa. Tengok saja, angka penunjuk jarum jam di sekitar kita tidak ada yang sama persis. Tayangan televisi selalu memiliki jadwal tayang yang bulat. Misal 7.30 atau 8.00. Ada stasiun televisi yang menayangkan program acaranya 7.15. Awalnya terlihat aneh. Namun jika dicermati, hal tersebut menandakan 15 menit kini dianggap berarti. Nantinya diharapkan kita akan menghargai waktu tidak hanya hitungan jam atau 30 menit. Bahkan satu menit adalah waktu yang berharga. Jadi bisa saja ada acara yang tayang pada 7.06.

Taat peraturan. Kata orang, peraturan itu untuk dilanggar. Di Negara lain, peraturan ditaati walau tanpa adanya petugas pemantau. Hal yang sepele, menyeberang jalan. Pemerintah menyediakan zebra cross sebagai tempat untuk menyeberang jalan, ataupun jembatan penyeberangan untuk menyeberang dengan rasa aman. Mengapa masih ada yang menyeberang di luar dari itu? Di luar negeri, jika akan menyeberang jalan harus menunggu lampu lalu lintas penyeberang menyala. Walau kendaraan sepi pun hal tersebut tetap dilakukan. Hal yang kecil. Namun mencerminkan sebagian mental kita.

Bukankah kebaikan dimulai dari diri sendiri, dimulai dari hal yang kecil, dan dimulai dari sekarang?

Selengkapnya...

Paradoks Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya. Setidaknya salah satu modal utama pembangunan ada di sini. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa posisi perekonomian Indonesia tidak maju? Beberapa bagian menjawab hal tersebut dikarenakan sumber daya alam yang ada tidak didukung dengan sumber daya manusia yang berkualitas yang seharusnya dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam tersebut. Lainnya menjawab hal tersebut dikarenakan kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Pernahkah kita berpikir bahwa disadari ataupun tidak, kita menjadi bagian dalam menentukan posisi Indonesia tersebut. Tidak usah terlalu muluk dengan membicarakan perekonomian secara makro, kebijakan pemerintah, kondisi ekonomi global, dan sebagainya. Ada beberapa hal kecil yang menggelitik untuk dicermati tentang sikap kita sebagai warga negara Indonesia yang seharusnya turut memiliki andil dalam memajukan perekonomian kita.

Cinta akan budaya dalam negeri. Hal tersebut mudah dikatakan. Namun apakah sudah melekat pada kehidupan kita. Memakai batik buatan Indonesia dan barang kerajinan lainnya merupakan salah satu cermin dari sikap tersebut. Jika permintaan terhadap pasaran batik menjadi naik, dapat mendorong pertumbuhan industri batik. Hal tersebut sekaligus dapat melindungi batik, yang notabene warisan budaya bangsa, agar tidak diakui sebagai bagian dari budaya bangsa lain. Tapi Indonesia tidak Cuma sebatas batik atau angklung. Lebih dari itu, sikap dan mental kita yang cenderung bangga menggunakan produk luar negeri turut menjadi andil. Jika yang menjadi alasan adalah kualitas produk dalam negeri yang masih kalah dengan produk luar negeri, berarti yang menjadi tugas konsumen adalah membantu produsen dalam negeri untuk meningkatkan kualitasnya. Menurunnya jumlah permintaan atau jumlah permintaan yang sedikit terhadap produk dalam negeri sedikit banyak berpengaruh pada volume produksi dalam negeri dan daya saing produk dalam negeri terhadap produk luar negeri. Misalnya buah kakao. Sekitar 40% dari produksi buah kakao di Indonesia diekspor ke luar negeri. Di luar negeri, buah kakao tersebut diolah menjadi cokelat dan hasilnya diimpor oleh Indonesia. Dalam pangsa pasar dalam negeri, harga cokelat impor tersebut relatif lebih tinggi dari cokelat lokal. Namun permintaan terhadap cokelat impor tersebut tetap tinggi. Akibatnya cokelat lokal yang jumlahnya relatif lebih sedikit kalah bersaing dengan cokelat buatan luar negeri. Jangan hanya memandang dari segi kualitas saja. Masyarakat India tetap bangga menggunakan produksi dalam negeri mereka. Sehingga masuknya barang-barang luar negeri yang tidak diimbangi dengan tingginya permintaan tidak mempengaruhi produksi lokal secara signifikan. Padahal, barang-barang impor yang masuk ke India pun memiliki kualitasnya yang lebih tinggi dibanding produk lokalnya. Sikap mental yang seperti inilah yang masih belum dimiliki oleh kita. Perasaan bangga memakai sepatu buatan designer terkenal model Italy dibandingkan dengan buatan Cibaduyut bukan hal yang asing lagi. Pemakaian kosmetika bagi kaum perempuan buatan luar negeri pun memiliki masalah yang sama. Buatan luar negeri memang bagus. Namun buatan Indonesia tidak kalah. Malah kosmetik dalam negeri justru dirancang khusus untuk kulit daerah tropis yang lebih cocok untuk kulit wanita Indonesia. Batik saja sekarang mulai terganggu dengan kehadiran batik China yang harganya lebih murah. Tidakkah menjadi paradoks bila batik yang katanya asli Indonesia kalah dengan batik buatan luar negeri. Hal tersebut justru terjadi di dalam negeri sendiri. Bagaimana dunia dapat menghargai kita jika mental kita tetap dipertahankan seperti ini. Apalagi jaman ekonomi bebas dengan diterapkannya Free Trade Area maupun pasar bebas membuat produk impor lebih leluasa memasuki pangsa pasar Indonesia. Apa jadinya industri Indonesia jika tetap seperti ini? Proteksi atas produksi dalam negeri tidak hanya sebatas kebijakan, tidak hanya sebatas kualitas industri, tidak hanya datang dari pemerintah maupun produsen. Perilaku konsumen juga menentukan. Apalagi masyarakat kita cenderung konsumtif. Dimanakah arti sumber daya alam yang melimpah itu? Mulailah berhenti menyalahkan pihak lain atas keadaan ekonomi sekarang. Lihat dulu pada diri kita. Sudah banggakah kita sebagai bangsa Indonesia?

Selengkapnya...