Kamis, 26 Januari 2012

Residivis pajak


Dalam KUHP dikenal hukuman yang lebih berat bagi mereka yang melakukan pengulangan kejahatan dalam batas waktu yang ditentukan. Misalnya kejahatan pembunuhan sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP akan dikenai hukuman 10 tahun. Apabila ia mengulangi kembali perbuatannya setelah menjalani hukuman 10 tahun tersebut, maka berdasarkan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman normal, dengan catatan perbuatan yang jenisnya sama tersebut dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruh atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.

Dalam Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive (Aturan Khusus Buku II atau Buku III). Pada prinsipnya batas tenggang waktu untuk menentukan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai residivis adalah 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Bartolus, seorang ahli hukum, menyatakan bahwa “Humanum enimest peccare, angilicum, se emendare, diabolicum perserverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan. Kita dapat melihat betapa pentinganya kedudukan pengulangan tindak pidana dalam hukum pidana.

Residivis sendiri berasal dari bahasa Perancis re dan cado. Re artinya lagi. Cado artinya jatuh. Residivis adalah melakukan kembali perbuatan kriminal yang sebelumnya dilakukan setelah dijatuhi hukuman pidana (dalam hal ini dari putusan hakim yang bersifat tetap) dan menjalani penghukumannya. Secara umum, unsurnya adalah:
a. Dilakukan oleh orang yang sama
b. Telah jatuh putusan terdahulu atas tindak pidananya
c. Pernah menjalani sebagian atau seluruh hukuman
d. Putusan hakim tersebut bersifat tetap
e. Dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dalam konsep KUH Pidana Tahun 1982/1983 disebutkan bahwa tujuan pemidaan adalah untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat
b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat
c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
d. Membebaskan rasa bersalah para terpidana
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sendiri juga dikenal adanya tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam KUP. Pelanggaran maupun kejahatan terhadap ketentuan perpajakan akan dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Prof. Dr. Mr. J. Van der Poel (dalam buku Rondom Composite en Compromis) menyatakan bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan hukum pidana umum.

Penerapan hukuman ini ditujukan untuk memberikan efek jera dan sebagai alat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan antara tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana umum. Salah satunya adalah mengenai residivis.

Bukan hal mustahil apabila wajib pajak mengulangi kesalahan berupa tindak pidana pajak sebagaimana diatur dala Pasal 39, 40, 41, dan 41A UU KUP dalam jangka waktu tertentu. Namun, peraturan perundang-undangan perpajakan tidak mengenal istilah residivis. Akibatnya, apabila terjadi tindak pidana yang sama dalam jangka waktu tertentu akan dikenakan hukuman yang sama. Mengapa tidak ada istilah residivis dalam pajak yang bisa dikenakan hukuman misalnya sepertiga lebih tinggi dari sanksi biasa dalam jangka waktu 5 tahun? Selengkapnya...

Rabu, 19 Oktober 2011

Ada Apa dengan Tebu kita?


Tebu merupakan jenis tanaman yang familiar di telinga kita. Selama ini kita mengenal tebu sebagai bahan baku pembuatan gula dan vetsin. Tanaman yang hanya dapat tumbuh di daerah tropis ini sempat menjadi perbincangan. Penanaman yang mudah dan masa panen yang cepat, sekitar satu tahun membuat tanaman ini banyak dibudidayakan, terutama di daerah Jawa dan Sumatera.

Pada saat ini luas area tebu di seluruh Indonesia hampir 400 ribu ha, dengan produksi 2,3 juta ton. Tambahan area 600 ribu ha seperti yang diajukan SGC akan meningkatkan produksi gula menjadi 5,8 juta ton. (http://www.yousaytoo.com/potensi-tebu-sebagai-pengasil-ethanol/320476)

Beberapa waktu lalu, pengusaha gula mengeluhkan kurangnya pasokan tebu dalam negeri. Hal ini dikarenakan karena peningkatan nilai ekspor tebu. Porsi tebu yang diekspor terus meningkat tiap tahunnya dari jumlah total produksi. Stok tetes tebu rata-rata tahun 2008 mencapai 1,4 juta liter. 600 ribu liter dikirimkan ke perusahaan ethanol. 600 ribu digunakan untuk pakan ternak. Dan sisanya, yaitu sebesar 200 ribu liter diekspor. Namun porsi ini terus mengalami peningkatan. Tahun 2009, volume ekspor tebu mencapai 800 ribu liter. Hal ini tentu saja dikarenakan harga yang ditawarkan oleh pasar global lebih menarik bagi petani. Dengan jumlah produksi yang hampir sama, maka hanya akan menyisakan 200 ribu liter untuk kebutuhan ethanol dalam negeri. Hal itu berarti produsen ethanol kekurangan sekitar 400 ribu liter. Hal inilah yang dikeluhkan oleh perusahaan ethanol di beberapa waktu yang lalu. Berbeda kasus dengan kakao, tebu memiliki kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi. Sementara itu, perusahaan pengolah tetes tebu atau yang disebut dengan mollase juga telah berkembang di dalam negeri. Sudah seharusnya pemerintah mempertimbangkan kebutuhan dalam negeri.

Yang menjadi pertanyaan utama adalah mengapa angka ekspor tebu meningkat secara signifikan?
Apakah memang kebutuhan akan tetes tebu di pasar global terus meningkat ataukah ada alasan lain? Pasar global berani menawarkan harga yang lebih tinggi karena ternyata ethanol tebu dapat menjadi alternatif bioenergi terbarukan. Produksi ethanol dengan bahan baku tebu lebih effesien dibanding menggunakan bahan baku dari Singkong ataupun jagung, karena produksi ethanol dari Tebu tidak perlu adanya proses sakarifikasi yang memerlukan bantuan enzim. (http://www.ethanolenergi.com/2011/01/produksi-ethanol-dari-tebu.html)

Ethanol tebu dikenal bersih dan terjangkau. Ethanol tebu telah membantu Amerika dalam penghematan di SPBUnya. Selain itu, juga mengurangi ketergantungan Amerika pada Timur Tengah dan cenderung lebih aman bagi lingkungan. Selama 30 tahun terakhir, Ethanol merupakan bahan bakar terbarukan yang telah dicampur dengan bensin di AS untuk membantu mencapai ekonomi, tujuan keamanan lingkungan dan energi. Etanol dapat diperpanjang karena, tidak seperti batubara atau minyak, itu dihasilkan dari tanaman. Sumber termasuk tanaman seperti jagung dan tebu yang dapat dipanen terus menerus dan tumbuh kembali.
Kebanyakan bensin yang dijual hari ini di AS telah dicampur dengan etanol sampai 10% untuk membantu mencapai:
* Cleaner Udara - Etanol menambah oksigen untuk bahan bakar bensin sehingga dapat mengurangi polusi udara dan emisi gas buang berbahaya dalam knalpot. Dibandingkan dengan bensin, etanol tebu pemotongan gas rumah kaca sedikitnya 60%.
* Better Performance - Etanol merupakan bahan bakar beroktan tinggi yang membantu mencegah mesin mengetuk dan menghasilkan kekuatan yang lebih di mesin kompresi lebih tinggi. US Environmental Protection Agency (EPA) yang ditunjuk etanol tebu sebagai Bahan Bakar Terbarukan Advanced - kategori penting biofuel unggulan yang akan membuat naik 21 milyar galon pasokan bahan bakar Amerika pada tahun 2020.
* Mengurangi Konsumsi Minyak - Etanol mengurangi ketergantungan Amerika pada bahan bakar fosil dan minyak Timur Tengah. etanol Tebu adalah salah satu pilihan baik bagi diversifikasi pasokan energi dan meningkatkan keamanan energi AS, Amerika sehingga tidak bergantung pada satu sumber atau negara. (sweeteralternative.com)

Pajak Ekspor Tetes Tebu
Isu pengenaan pajak ekspor tebu mendapatkan tentangan keras dari para petani. Tentu saja pengenaan pajak ekspor ini akan memberatkan para petani tebu. Namun sudah menjadi kewajiban pemerintah juga untuk melindungi industri dalam negeri. Instrumen pencegahan ekspor, selain dengan pengenaan pajak ekspor, juga dapat menggunakan instrumen penetapan HPP. HPP yang lebih kompetitif dalam negeri dapat menjadi pertimbangan tersendiri untuk petani. Selain itu, penggunaan ethanol sebagai campuran bahan bakar juga perlu dipertimbangkan. Mengingat kebutuhan dalam negeri akan BBM terus meningkat yang diikuti dengan angka impor minyak yang meningkat pula. Perlu adanya pengembangan industri yang serupa dengan yang dilakukan di Amerika sehingga kita juga dapat memperoleh manfaat dari tebu kita sendiri. Selengkapnya...

Selasa, 16 Agustus 2011

Back to The Old One


Krisis pangan global dialami hampir di semua negara. Harga pangan global terus melonjak naik seiring dengan naiknya harga minyak mentah dunia. Indonesia juga terancam krisis pangan. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengungkapkan peningkatan nilai impor pangan selama semester pertama 2011 mencapai 7% dari total impor nasional. Padahal Indonesia adalah negara agraris. Sebuah anomali bahwa negara agraris mengimpor pangan. Berkurangnya stok pangan dunia dan lonjakan kenaikan harga pangan yang signifikan membuat krisis pangan global berpotensi menjadi ancaman besar.Indeks harga pangan FAO pada Desember 2010 mencapai rekor tertinggi, yaitu mencapai 214,7.FAO dan OECD memprediksi pada 2007-2016 produksi pangan dunia merosot hingga 5%.

Selama ini Indonesia terus mengandalkan impor pangan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan pangan. Melihat ancaman krisis pangan, beberapa negara memulai untuk melakukan larangan ekspor pangan guna menyediakan cadangan pangan dalam negeri. Jika larangan ekspor pangan diberlakukan secara ketat maka bukan hal yang mustahil kelaparan akan melanda Indonesia sebagaimana terjadi di sekitar tahun 1984.

Mungkin sekarang sudah waktunya pemerintah untuk memfokuskan politik ketahanan pangan. Peralihan menjadi negara industri seharusnya memperhatikan potensi dan kemampuan masyarakat yang ada. Sejarah beberapa negara membuktikan bahwa industrialisasi akan menciptakan kapitalisme.


Apa itu Politik Ketahanan Pangan?
Politik Ketahanan Pangan sebenarnya bukan hal yang baru bagi kita. Hal ini telah dimulai sejak tahun 1950. Perkembangan politik ketahanan pangan dari masa ke masa pun berfluktuasi. Namun kini, ketahanan pangan Indonesia tidak dapat dikatakan stabil mengingat ketergantungan kita terhadap pangan impor cukup besar. Total jumlah impor pangan adalah sebesar 7% dari total impor. Apabila pasokan pangan dalam negeri kurang mencukupi kebutuhan dalam negeri, maka impor bukan merupakan alternatif terbaik.

Masih ingatkah kita dengan pemberlakuan cadangan bulog sebagai basis ketahanan pangan nasional? bahkan di setiap tingkat provinsi (dahulu Dati I) maupun kabupaten (Dati II). Penyuluhan kepada petani pun gencar dilakukan. Sering ditemukan bibit unggul baru. Pemberantasan praktik ijon kepada para tengkulak pun gencar dilakukan. Bukan hal yang mudah untuk mencapai swasembada pangan. Indonesia pernah mencapai hal tersebut. Namun tidak dapat dijaga keberlanjutannya.


Selain itu, konversi bahan pangan pokok dari beras ke bahan pangan alternatif pun sempat dilakukan guna mengurangi ketergantungan kita terhadap beras. Misalnya jagung maupun sagu. Pemerintah juga menetapkan harga pangan lokal yang sedikit lebih tinggi dari harga pangan dunia guna mengantisipasi ekspor pangan ilegal.

Selain dari sisi supply, politik ketahanan pangan juga memerlukan kerja sama dari sisi demand,yaitu jumlah penduduk. Pertumbuhan penduduk yang lebih cepat dari pertumbuhan jumlah pangan membuat perlunya pembatasan jumlah kelahiran. Program KB dengan slogan :Dua anak cukup pun diciptakan.

Revitalisasi pangan yang dilakukan pemerintah tidak serta merta diimbangi dengan ketahanan dan swasembada pangan, akibatnya program ini tidak berjalan secara maksimal. Oleh karenanya, sudah saatnya kita untuk berfikir ulang mengenai prioritas pembangunan mulai dari yang paling prioritas.







Selengkapnya...

Senin, 15 Agustus 2011

Kepercayaan Masyarakat


Masyarakat merupakan pilar ketiga dari sebuah pemerintahan selain pemerintah dan dunia usaha. Masyarakat memiliki peranan besar dalam keberhasilan suatu negara. Hubungan kepercayaan masyarakat dan kinerja pemerintah adalah suatu hubungan yang simultan. Jadi apabila suatu pemerintahan mengalami kegagalan, kesalahan tidak hanya terletak pada pemerintahnya saja. Namun juga masyarakatnya. Masyarakat merupakan kontrol sosial dari kinerja pemerintah. Bagaimana pemerintah dapat melakukan tugasnya dengan baik apabila setiap kebijakan yang dikeluarkan selalu ditentang. Memang tidak mudah memuaskan kebutuhan segala pihak. Namun harus selalu ada yang menjadi prioritas.

Bagaimana menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah?

Yang pertama harus dilakukan adalah mengetahui kebutuhan dasar masyarakat, yaitu kebutuhan pangan. Masyarakat Indonesia masih banyak yang awam terhadap kebijakan pemerintah. Mereka tidak mau tahu bagaimana suatu kebijakan itu diterbitkan, yang merupakan opportunity cost dari segala kemungkinan yang ada. Masyarakat ingin agar mereka mampu membeli barang kebutuhan pokok dengan harga yang murah. Hal ini terbukti dari jaman pemerintahan orde baru dimana kebutuhan pokok kita dapat dikatakan lebih terjamin. Adanya pemerataan pendapatan juga memacu masyarakat untuk lebih percaya kepada pemerintah. Terlepas dari praktik KKN di belakannya, Indonesia pernah menjadi macan asia dan berhasil dalam swasembada pangan.

Melihat wilayah Indonesia yang potensial terhadap sektor pangan, kebijakan pemerintah sebaiknya memang difokuskan di sektor pangan dahulu. Pemerintahan Soeharto berhasil membangun irigasi terbesar. Hal ini mungkin tidak terlalu terlihat bagi kita yang jarang turun ke sawah. Namun bagi mereka yang mengolah pangan kita, pembangunan irigasi ini merupakan langkah maju. Ditopang dengan panca usaha tani, subsidi pupuk, dan sebagainya. Beliau tahu betul kebutuhan masyarakat tani waktu itu.

Apa yang terjadi sekarang?
Kekeringan yang melanda di sebagian besar wilayah Yogyakarta, Klaten, dan Solo, membuat petani beralih menjadi pedagang hik. Padahal telah ada anjuran dari pemerintah untuk menanam palawija. Fenomena seperti ini tidak dapat dibiarkan terus menerus. Para petani yang beralih profesi bisa jadi tidak hanya satu dua bulan. Pengurangan jumlah lahan pertanian dan perubahannya menjadi wilayah pemukiman, akan membahayakan kontinuitas stock pangan kita.

Banyak program orde baru yang masih baik untuk dijalankan. Misalnya transmigrasi. Pemerataan penduduk di wilayah Indonesia merupakan salah satu langkah di bidang pertahanan keamanan. Bagaimana tidak? Kasus suaka politik yang pernah diberikan pemerintah Australia kepada WNI Papua disebabkan oleh kurang diperhatikannya masyarakat perbatasan.

Yang kedua adalah program KB. Pembatasan jumlah penduduk perlu dilakukan. Menurut Thomas Robert Malthus, pertumbuhan penduduk menurut deret ukur dan ketersediaan pangan menurut deret hitung. Jika penduduk tidak dibatasi, maka fenomena impor bahan pangan seperti sekarang ini bukanlah fenomena yang aneh.

Kebutuhan pokok masyarakat perlu diperhatikan lebih dahulu. Pemerintah seyogyanya memfokuskan pada peningkatan di sektor tertentu yang multiplier effectnya lebih besar. Jika kepercayaan masyarakat telah di dapat, maka kebijakan pemerintah selanjutnya dapat lebih terkontrol. Selengkapnya...

Jumat, 08 Juli 2011

Pendidikan dalam APBN


Sesuai dengan amanat Pasal 32 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional", maka porsi dana pendidikan dalam APBN kita ditetapkan sebesar 20% dari total belanja. Sepintas hal ini terdengar bagus. Pengalokasian dana 20% dari APBN untuk pendidikan dianggap sebagai wujud tanggung jawab pemerintah terhadap pendidikan warga negaranya. Biaya pendidikan yang semakin tinggi menjadi salah satu alasan pengajuan usul ini. Dulu hal ini dianggap sebagai prestasi dari wakil kita karena telah berhasil memperjuangkan salah satu kebutuhan primer dari rakyat.

Angka 20% 'dulu' dianggap sedikit bagi yang mengajukan. Mengingat porsi dana pendidikan di negara lain justru lebih besar. Data tahun 2003, dana APBN yang dialokasikan untuk pendidikan di Singapura telah mencapai 27%, Malaysia sebesar 22% dan 2008 mencapai 26%, sedangkan Thailand mencapai 21%. Data Balitbang Depdiknas 2003 menyebutkan berkaitan dengan porsi biaya pendidikan, yang ditanggung orang tua siswa berkisar 63,5%–87,75% dari biaya total. Data 2006 berdasarkan laporan ICW menunjukkan biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/siswa) hanya berkisar antara 12,22%–36,65%. Sementara berdasarkan laporan Bank Dunia, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya.

"Indonesia adalah satu dari tiga negara selain Taiwan dan Brazil yang telah secara tegas mencantumkan besaran angka persentase anggaran pendidikan di dalam konstitusinya.” (http://pelayanrakyat.blogspot.com).

Bagaimana keadaan sekarang?

Seiring dengan peningkatan jumlah belanja dalam APBN, jumlah dana yang dialokasikan untuk pendidikan semakin meningkat juga. Tahun ini saja terdapat tambahan dana pendidikan sebesar Rp16,67triliun sebagai akibat dari penambahan belanja dari Rp1.229,6triliun menjadi Rp1.313,4triliun. Total anggaran pendidikan menjadi Rp262,68triliun dari yang sebelumnya Rp245,92triliun.Rencananya tambahan tersebut Rp14,4trilun akan dialokasikan untuk penyesuaian dan sisanya untuk dana pengembangan pendidikan nasional.

Sudahkah melihat permasalahannya?
Peningkatan dana pendidikan tidak serta merta diimbangi dengan peningkatan proyek yang akan dilakukan. Lantas bagaimana dengan pengalokasian tambahan dana ini? Terlepas dari opini BPK atas laporan Kementerian Pendidikan yang menyatakan "disclaimer", penambahan dana yang jumlahnya cukup besar bila tidak dikelola secara bijak justru akan membebani APBN kita.

Angka 20% dari APBN bukanlah jumlah yang kecil, mengingat masih banyak hal lainnya yang harus dibiayai dengan APBN. Belanja pegawai juga membutuhkan alokasi dana yang besar. Nondiscretionary spending (belanja terikat) yang jumlahnya sudah absolut tahun ini sebesar Rp912triliun, yang berarti sebesar 69,44% dari total APBN. Sedang sisanya adalah belanja tak terikat termasuk Rp116triliun utang. Melihat dari total ini, maka fiscal space dalam APBN kita bisa dibilang sangat rendah. Komposisi belanja negara masih didominasi oleh belanja mengikat yang bersifat wajib. Sekitar 97 % dari Pendapatan Dalam Negeri (Pajak dan PNBP) tahun 2010 digunakan untuk membiayai belanja mengikat yang bersifat wajib, antara lain untuk transfer ke daerah (35%); belanja pegawai dan barang (27%); subsidi (20%); dan bunga Utang (11%). Dana yang tersisa untuk belanja tidak mengikat (Diskresioner), antara lain belanja modal untuk infrastruktur dan bantuan sosial menjadi sangat terbatas.Padahal kita masih sangat memerlukan infrastruktur dalam menunjang pengembangan ekonomi. Selain itu infrastruktur yang baik merupakan daya tarik investor selain pangsa pasar.

Pemerintah memiliki keterbatasan fiscal space. Padahal mandatory spending untuk pendidikan sebesar 20% belum tentu dapat diserap dengan baik. Oleh karena itu pengalokasian 20% dana pendidikan dalam APBN belum tentu menjadi jalan yang baik. Yang dipertanyakan selanjutnya adalah bagaimana pengelolaan 20% APBN ini? Silakan dilihat dari laporan Kementerian Pendidikan. Serta bagaimana dampak penambahan alokasi dana pendidikan dalam pendidikan itu sendiri? Apakah pendidikan kita semakin baik atau semakin terjangkau? Silakan dilihat dalam kenyataan sendiri. Selengkapnya...

Kamis, 14 April 2011

Ketika kita harus memilih.


Terkadang berpikir bahwa langkah yang dilakukan pemerintah itu tidak jelas arahnya. Misalnya dalam arah kebijakan fiskal 2011: pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment. Hal itu sama dengan impossible trinity yaitu pertumbuhan tinggi, inflasi rendah, dan nilai tukar stabil yang tidak akan mungkin dapat tercapai. Sebaiknya pemerintah memfokuskan pada satu tujuan misalnya pro growth saja, atau pro poor saja. Karena ketidakfokusan ini akan berakibat pada banyak hal. Misalnya dalam pembuatan kebijakan.

Contoh yang sederhana, pemerintah tidak akan menaikkan PPnBM mobil hingga ke taraf maksimal. Sementara cadangan minyak kita diperkirakan hanya sampai 23 tahun ke depan, keterangan Menteri ESDM Darwin Zahedy. Gas bumi Indonesia bertahan untuk 63 tahun dan batu bara 77 tahun. Hal yang hampir mustahil dilakukan dalam waktu dekat kita akan melakukan alih energi dari energi migas dan batubara ke energi alternatif secara menyeluruh. Namun kita tidak melakukan pembatasan atas penggunaan energi saat ini. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk yang berarti terjadi peningkatan kebutuhan energi, maka bukan hal yang tidak mungkin energi yang tersedia habis lebih cepat dari perkiraan. Dengan tidak berusaha mengurangi peningkatan penggunaan energi sama dengan memacu energi untuk lebih cepat habis dari seharusnya. Jangankan membatasi penggunaan dari yang sudah ada, langkah membatasi peningkatan pun tidak signifikan dilakukan.

Apa yang ingin kita capai? Seperti great depression melanda Amerika Serikat dimulai dengan jatuhnya harga saham 4 September 1929 (sumber:Wikipedia). Pengangguran di Amerika Serikat naik 25%. Dan teori Adam Smith runtuh berganti dengan teori Keyness. Salah satu kebijakan yang dilakukan oleh Roosevelt adalah dengan pemotongan produksi pertanian untuk menaikkan harga melalui Agricultural Adjustment Act.

Jikalau harga naik berarti akan memicu inflasi dan hal ini sangat tidak pro poor. Namun langkah ini pro growth. Mereka menetapkan UMR untuk memacu daya beli konsumen dalam rangka meningkatkan daya beli kelas menengah. Sehingga akan terjadi kenaikan produksi yang akan memicu penambahan tenaga kerja. Namun inflasi terus naik sehingga pemerintah berusaha menjaga tingkat inflasi yang menyebabkan pengangguran bertambah lagi dari 14,3% pada tahun 1937 untuk 19,0% pada 1938, naik dari 5 juta menjadi lebih dari 12 juta pada tahun 1938 awal.

Di sinilah letak oportunity cost terlihat. Kita harus tahu mana yang menjadi skala prioritas awal. Kemudian disusul paket selanjutnya. Jadi nampaknya program pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment tidak menjadi kebijakan fiskal satu tahun melainkan untuk waktu jangka panjang. Karena membutuhkan paket stimulus dari semua arah. Jadi tentukan dulu mana sektor yang akan diprioritaskan. Buat skala kepentingannya. Selengkapnya...

Minggu, 27 Maret 2011

Tax Holiday, benarkah signifikan?

Tax Holiday dibuat sebagai sweetener bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Berbagai kemudahan dan fasilitas fiskal dijadikan penarik datangnya investor terutama bagi investasi baru dan perluasan investasi. Namun benarkah bahwa fiskal menjadi poin penting bagi investasi?

Banyak pendapat menyatakan bahwa tax holiday bukan menjadi pertimbangan utama. Karena pada dasarnya ketika seorang investor akan memutuskan menanamkan modalnya di suatu tempat, beberapa hal penting menjadi pertimbangannya.

Yang pertama adalah pangsa pasar. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tergolong konsumtif. Sebagai sebuah negara berkembang, penduduk Indonesia rata-rata menghabiskan 80% penghasilannya untuk konsumsi (disposable income). Jadi secara pangsa pasar, kita masih unggul. Selain itu, jumlah penduduk yang banyak membuat upah tenaga kerja tergolong murah, sehingga biaya pokok produksi dapat ditekan.

Yang kedua, infrastruktur. Di sinilah letak permasalahannya. Ketersediaan infrastruktur yang kurang baik akan menimbulkan masalah terutama pada link distribusi yang berakibat pada kenaikan harga produk. Belum lagi praktek pungli di sepanjang jalur produksi.

Yang ketiga adalah urusan administrasi. Kita dinilai terlalu birokratis. Dengan semboyan "kalo bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?"

Dari tiga faktor utama di atas, rasanya tax holiday tidak begitu signifikan dalam menarik minat investor. Karena masih banyak kekurangan kita. Seandainya infrastruktur kita baik dan birokrasi kita mudah, rasanya tanpa tax holiday pun investor akan tetap menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat pangsa pasar yang menggiurkan.

Penerapan tax holiday malah dapat menimbulkan potential loss dari penerimaan negara. Jadi seharusnya kita lebih berhati-hati dalam memperhitungkan cost and benefit dari sebuah kebijakan. Selengkapnya...

Jumat, 18 Maret 2011

Pangan itu Zero Tolerance


Setiap kegiatan harus memiliki prioritas. Begitu pula dengan pembangunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semasa jabatan Soeharto, Indonesia memiliki prioritas pembangunan yang tercermin dalam Repelita. Di sanalah terletak framework pembangunan bangsa ini. Semua sektor pembangunan itu penting. Namun dengan keterbatasan sumber daya yang kita miliki, mengharuskan kita untuk memilih prioritas pembangunan.

Sekarang ini, hampir semua sektor pembangunan menempatkan diri bahwa sektor merekalah yan g terpenting. Namun, sejalan dengan pernyataan wakil presiden, Boediono, bahwa urusan pangan zero tolerance. Karena pangan menjadi dasar kebutuhan dari setiap individu di dunia ini. Tahun 2011, sadar atau tidak, krisis pangan mulai dirasakan. Perubahan iklim dijadikan alasan terjadinya krisis. Kenaikan harga minyak mentah dunia memacu krisis ke arah yang lebih buruk.

Beberapa hal yang tidak kita sadari memacu krisis pangan. Peningkatan kesejahteraan yang mendorong tingkat konsumsi, perubahan iklim global, pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan turunnya luas lahan pertanian adalah beberapa penyebab krisis pangan global. Kenaikan harga bahan pangan akan memicu kenaikan harga domestik. Ditambah lagi dengan kenaikan harga minyak yang terus terjadi akan mendorong peningkatan harga bahan pangan. Jika sudah seperti ini, maka kenaikan inflasi menjadi hal yang wajar terutama untuk inflasi yang merupakan sumbangan dari volatile food. Tekanan inflasi akan melanda di emerging market termasuk Indonesia.

Kita membutuhkan kebijakan pemerintah untuk pengamanan pangan. Subsidi raskin, subsidi pupuk, insentif fiskal berupa PPN DTP untuk beberapa komoditas, penurunan tarif bea masuk dan sebagainya adalah langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk mengamankan pasokan pangan dalam negeri.

Jika sudah terjadi hal seperti ini, kita kembali disadarkan bahwa Orde Baru tidak selamanya berdampak buruk. Beberapa hal yang baik seperti prioritas pembangunan yang dulu sempat dilaksanakan sehingga Indonesia berhasil swasembada pangan dan menjadi macan Asia, masih layak untuk terus diperjuangkan. Karena pangan itu zero tolerance. Selengkapnya...

Selasa, 08 Februari 2011

berpikir pada intinya

Entah mengapa kita terlalu memusingkan pernyataan Presiden menyangkut gaji beliau yang tidak naik selama 7 tahun. Terlepas dari masalah keetisan, pernyataan beliau diikuti dengan kemungkinan standardisasi gaji menurut beban kerja masing-masing.

Jika berbicara mengenai gaji, hampir dapat dipastikan semua orang akan menjadi sangat sensitif. Semua pihak menginginkan peningkatan penghasilan. Di sini saya tidak akan membicarakan penghasilan dari sektor swasta. Karena tidak berdampak pada pembelanjaan negara. Jika pegawai negeri meminta kenaikan penghasilan maka akan menambah beban APBN terutama kenaikan dari sisi belanja pegawai yang bersifat mengikat (discresionary). Hal ini akan menyebabkan semakin kecilnya ruang untuk porsi pembangunan sektor riil.

Namun jika kita cermati, kenaikan gaji pun merupakan pedang bermata ganda bagi pegawai itu sendiri. Di satu sisi kenaikan gaji bisa membuat kekayaan kita bertambah. Namun di sisi lain, hal ini juga memicu inflasi karena semakin banyak uang yang beredar di masyarakat.

Selama ini kita mungkin terfokus pada penambahan kekayaan berupa penambahan jumlah uang. Namun pada dasarnya, real money balance yang penting. Sederhananya ketika dulu kita memiliki uang Rp20.000,00 dan kita mampu membeli 5 roti dengan harga Rp4.000,00 per roti. Namun ketika uang kita bertambah menjadi Rp30.000,00, sedangkan harga roti Rp7.500,00 maka kita hanya mampu membeli 4 roti saja. Walaupun uang kita bertambah namun pada kenyataannya kita malah semakin miskin. Fenomena inilah yang menjadi dampak negatif dari kenaikan gaji pegawai.

Jadi, mulailah berfikir pada inti. Bukan dengan menaikkan gaji untuk menambah kesejahteraan seseorang, tapi dengan mengendalikan inflasi pada tingkat tertentu. Sehingga diharapkan inflasi yang terjadi merupakan cerminan pertumbuhan ekonomi riil. Selengkapnya...

Rabu, 19 Januari 2011

Euforia kenaikan harga sawit


Harga sawit dunia terus melambung tinggi. Petani sawit mengalami keuntungan akan fenomena ini. Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk mensupport kenaikan harga sawit ini. Beberapa waktu yang lalu, kenaikan bea keluar oleh pemerintah terhadap ekspor sawit dirasa memberatkan para petani. Padahal sebenarnya, pemerintah berusaha untuk mendorong industri sawit dalam negeri untuk lebih inovatif dalam mengolah sawit mereka sehingga mampu mengekspor sawit olahan yang tentu saja memiliki harga jual yang lebih tinggi daripada sawit mentah.

Namun ada hal yang terlupakan dari euforia kenaikan harga sawit ini, yaitu lingkungan. Jika memang pasar sawit menggiurkan, mengapa negara sentra sawit hanya Indonesia dan Afrika? Negara lain apakah tidak mampu juga untuk mengembangkan sawit. Beberapa negara memiliki iklim dan struktur tanah yang hampir sama dengan kita. Mereka mungkin telah menyadari bahaya dari sawit ini.

Menurut Sawit Wach, penanaman kelapa sawit sendiri menimbulkan beberapa dampak negatif seperti berkurangnya unsur hara dalam tanah. Sawit dinilai rakus memakan unsur hara dalam tanah. Bahkan satu tanaman mampu menyerap air 12 Liter per hari. Penggunaan pupuk kimia untuk merangsang pertumbuhan kelapa sawit menambah dampak negatif terhadap tanah.

Di samping itu, banyaknya investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di pertanian sawit mengakibatkan banyaknya konversi lahan. Akibatnya berkuranglah lahan penyerapan air, keluasan hutan, dan sebagainya. Sehingga rentan terhadap erosi. Di samping itu, sistem pertanian monokulturasi juga membuat hama merusak ekosistem yang telah ada.

Melihat dari dampak yang ditimbulkan, sudah sepantasnyalah kita mulai berhitung dengan para investor untuk masalah lingkungan yang ditimbulkan. Apalagi perkebunan sawit justru didominasi asing. Mereka mendapatkan keuntungan akan tetapi kita akan menanggung kerugian jangka panjangnya.

Jangan sampai kita terlena oleh kenikmatan sesaat. Selengkapnya...

Senin, 10 Januari 2011

Media Massa turut picu inflasi


Kenaikan harga cabai ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Inflasi akhir tahun 2010 tercatat sebesar 6,96%. Sementara Darmin Nasution menyatakan bahwa core inflasi kita hanya 4,28%. Sisanya dipicu oleh kenaikan harga bahan pangan yang fluktuatif.

Cabai yang notabene bukan termasuk bahan pangan pokok menyumbang inflasi yang cukup besar. Alasannya karena perubahan iklim yang membuat stok cabai di pasaran berkurang sehingga memicu kenaikan harga.

Namun di sisi lain, media massa juga memicu inflasi cabai. Mengapa?

Pemberitaan yang terlalu berlebihan yang diartikan secara sepihak memacu inflasi.
Normalnya harga cabai berada di kisaran 20-30 ribu rupiah. Jika dihitung dengan kelangkaan karena perubahan iklim maka harganya tidak lebih dari 50 ribu. Namun harga sekarang banyak yang mencapai lebih dari 100 ribu rupiah. Padahal tidak semua daerah mengalami kenaikan harga sedemikian ekstrim. Pemberitaan di media yang terlalu berlebihan membuat petani cabai merasa rugi jika hanya menjual 35 ribu rupiah saja. Mengingat harga akhir di konsumen bisa mencapai 3 kali lipat. Akibatnya harga cabai akan naik dari petani dan terus melambung hingga ke konsumen.

Oleh karena itu, perlu juga dicermati faktor-faktor lain pemicu inflasi kadang datang dari luar yang sebenarnya tidak berhubungan langsung. Mengenai seberapa signifikan pengaruh media atau berapa persentase media menyumbang inflasi, silahkan diteliti sendiri... :P Selengkapnya...

Jumat, 07 Januari 2011

kebijakan pencabutan subsidi dalam kaitannya dengan tingkat kepercayaan masyarakat


Bahan bakar menjadi salah satu pendorong inflasi. Kenaikan minyak dunia yang saat ini mencapai US$96 per barel dapat menembus 3 digit dalam waktu yang dekat. Ditambah lagi dengan iklim dingin yang terus melanda kawasan global akan membuat harga minyak bertahan di level tertinggi itu.
Untuk mengatasi tingginya harga minyak dunia, pemerintah menyediakan subsidi bahan bakar agar kenaikan harga minyak dunia tidak berimbas spontan pada perekonomian dalam negeri. Di sinilah fungsi dari stabilisasi APBN tercermin. Namun saat ini, porsi subsidi BBM mengalami kenaikan yang tajam sehingga dapat menyebabkan ketidaksehatan dalam APBN. Oleh karena itu pemerintah akan mencabut subsidi BBM untuk plat hitam per Maret 2011 nanti.
Belum juga kebijakan tersebut dilaksanakan, BBM menjadi langka di beberapa daerah. Hal ini menyebabkan berbagai indikasi dalam masyarakat. Takutnya kelangkaan ini akan semakin memicu kenaikan harga-harga bahan pangan terutama.
Reaksi masyarakat atas kebijakan pencabutan subsidi pun bermacam-macam. Sebagai masyarakat, kita akan berusaha untuk menyimpan minyak sebanyak-banyaknya saat pembelian BBM bersubsidi masih diperbolehkan untuk digunakan nanti ketika BBM bersubsidi dibatasi penggunaannya. Akibatnya BBM menjadi langka di pasaran.
Pemerintah seharusnya sudah dapat memperkirakan kejadian ini sebelumnya. Pertamina seyogyanya dapat menyediakan BBM bersubsidi lebih banyak dari porsi sebelumnya sehingga walau terjadi penimbunan minyak jika harga di pasaran tetap stabil, maka orang yang melakukan penimbunan itu mau tidak mau akan melepasnya.
Secara APBN, hal ini akan berdampak pada membengkaknya dana subsidi BBM. Namun jika dikalkulasikan ini bisa menjadi lebih baik. Sebab kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah tetap terjaga. Sehingga kebijakan tersebut tidak menimbulkan shock yang berlebihan pada masyarakat. Toh, jika orang yang menimbun itu bertujuan untuk mencari keuntungan, hal itu tidak akan bertahan lama. Setidaknya kepercayaan masyarakat tetap terjaga dan penerapan kebijakan ini bisa lebih terkontrol.
Perlu diingat bahwa kepercayaan masyarakat menjadi variabel eksogen yang memiliki peran cukup signifikan. Selengkapnya...

Kamis, 06 Januari 2011

on the other side of capital inflow


adanya krisis global yang sekarang terjadi menyebabkan aliran modal asing yang masuk ke Indonesia semakin banyak. krisis yang melanda irlandia dan yunani menambah semangat masuknya aliran modal ke indonesia. banyak pihak yang mulai merasa khawatir terhadap kondisi ini. karena ditakutkan aliran modal yang masuk hanya bersifat sementara (hedge funds) dimana para investor mengambil keuntungan dari suku bunga yang tinggi di Indonesia sementara negara-negara maju seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat yang menetapkan di kisaran 0-0,1%. apakah capital inflow yang sekarang sedang membanjiri negeri ini hanya mendatangkan dampak yang buruk?

di satu sisi, dengan banyaknya capital yang masuk membuat rupiah terapresiasi yang akibatnya akan melemahkan ekspor Indonesia. hal ini ditambah dengan ketentuan baru negara pengimpor yang menjadi ekspor barrier bagi industri dalam negeri. pengenaan tarif ekspor juga melemahkan ekspor kita. dampak yang kedua adalah ketakutan terjadinya sudden revearsal dimana kita harus menyediakan cadangan devisa yang cukup untuk membiayai obligasi kita.

namun di sisi lain, apresiasi rupiah dapat menjadi keuntungan bagi kita. dengan pengelolaan arus uang yang masuk dan keluar dengan benar, keuntungan bagi kita adalah nilai nominal utang negara menjadi semakin kecil. di saat seperti inilah beberapa orang menyatakan adalah waktu yang tepat untuk membayar sebagian besar utang kita karena dampak dari apresiasi rupiah tersebut.

pembatasan capital inflow masih terus menjadi bahan pembicaraan. kita tinggal menunggu aturan terbaru tentang kejadian ini. Selengkapnya...

Senin, 03 Januari 2011

kebijakan capital control


terjadinya krisis global yang melanda dunia menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir capital inflow. indonesia di nilai sebagai negara yang potensial sebagai tempat mengamankan dana investasi mereka. diantara negara-negara asia, indonesia masuk ke dalam tiga negara potensial di samping india dan cina.

namun saat ini perekonomian dunia kembali pulih. yang menjadi kekhawatiran banyak pihak saat ini adalah penarikan besar-besaran capital (capital rehearsal). oleh karenanya diperlukan beberapa instrumen untuk mengantisipasi kejadian ini.

ada beberapa pilihan dalam mengatasi permasalah tersebut. pembatasan yang dikenal dengan istilah capital control dapat diimplementasikan dalam bentuk aturan hukum maupun pajak. selama ini yang telah diterapkan adalah dalam bentuk aturan hukum dimana investasi portofolio asing dibatasi dengan jangka waktu tertentu. misalnya untuk SBI dibatasi dengan regulasi pemanjangan waktu beli jual minimal satu tahun.

pembatasan yang kedua dapat dilakukan melalui instrumen pajak. hal ini perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam untuk menetapkan jenis dan besar tarif pajak yang akan dikenakan mengingat kita masih membutuhkan modal asing untuk menutupi kekurangan APBN.

negara yang telah menerapkan pajak sebagai capital control.
brazil telah menerapkan pajak sebagai instrumen capital control dengan tarif 2% di luar FDI (foreign direct investment). namun kegagalan capital control juga pernah terjadi pada thailand yang menyebabkan penurunan modal yang sangat signifikan.

kebijakan pemajakan atas modal asing sebaiknya tidak dilakukan secara kontinue namun lebih pada kebijakan yang sifatnya insidentil.kebijakan pemajakan baru diterapkan ketika terjadi banjir capital inflow pada level tertentu. atau jika ada indikasi terjadinya bubling yang membahayakan.

langkah lainnya dengan menghilangkan SBI berjangka pendek. hal ini dikarenakan datangnya modal asing akan menaikkan IHSG namun tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi. kedatangan modal asing sebaiknya diarahkan pada industri manufaktur yang menyerap tenaga kerja. mengingat sensitivitas jobless dimana kenaikan 1% pertumbuhan ekonomi akan mengangkat 400.000 penduduk dari garis kemiskinan. serta cadangan devisa yang cukup agar tidak terjadi kegagalan bayar obligasi seperti yang menjadi penyebab krisis Irlandia. Selengkapnya...

Selasa, 23 November 2010

indonesia-malaysia

Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan dan Pulau Miangas, Sulawesi Utara
Kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of SJustice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 adalah ibarat rapor merah bagi diplomasi Indonesia.Namun I Made Arsana berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.
Apa dasar kemenangan Malaysia?Menurut putusan ICJ pada 17 Desember 2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif.Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan.Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut.
Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara.Pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005.Matinya sekretaris desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI.Merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippina.Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi.Mereka merasa lebih dekat dengan Philippina daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao dan transaksi sehari-harinya menggunakan Philippines Pesos daripada Rupiah. Selengkapnya...

antara hulu dan hilir

Keadaan pertumbuhan industri di Indonesia
Berdasarkan data dari Kadin, pertumbuhan industri Indonesia mengalami penurunan dalam empat tahun terakhir. Hingga akhir tahun ini pertumbuhan industri menurun sebesar 1,8%. Persoalan yang mendasar pada industri dasar diantaranya adalah ketergantungan yang besar terhadap barang baku impor. Hal tersebut dikarenakan sektor industri bahan baku, bahan pembantu, barang setengah jadi, dan komponen belum berkembang.

Terpuruknya daya saing kita, oleh berbagai kalangan, salah satunya disebabkan karena membengkaknya biaya overhead produksi. Sebagai illustrasi, dari hasil identifikasi perusahaan Jepang, bila biaya produksi manufaktur kita diberi indeks 100, maka Cina hanya sekitar 62, Filipina 77, Malaysia 79, dan Thailand 89. Struktur biaya produksi manufaktur kita juga sangat rentan dimana biaya overhead mencapai 33.37 dan biaya untuk material mencapai 58.26. Sebagai bandingannya: overhead di Cina hanya 17.06 dan material hanya 39.89.

Nilai impor bahan baku, bahan antara (intermediate), dan komponen untuk seluruh industri meningkat dari 28 persen pada tahun 1993 menjadi 30 persen pada tahun 2002. Khusus untuk industri tekstil, kimia, dan logam dasar nilai tersebut mencapai 30-40 persen, sedangkan untuk industri mesin, elektronik dan barang-barang logam mencapai lebih dari 60 persen. Tingginya kandungan impor ini mengakibatkan rentannya biaya produksi terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah dan kecilnya nilai tambah yang mengalir pada perekonomian domestik.

Pengenaan bea masuk industri
Pengenaan tarif bea masuk yang lebih tinggi sebaiknya dikenakan pada industri hilir, yaitu industri yang menghasilkan barang jadi. Hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri. Industri hilir yang ada di dalam negeri dapat tetap berproduksi dan bersaing dengan produk luar negeri. Bea masuk yang tinggi ini membuat harga produk dalam negeri kompetitif terhadap produk luar negeri yang sebagian besar lebih rendah dari produksi dalam negeri.

Untuk industri hulu yang menghasilkan barang mentah sebaiknya dikenakan bea masuk yang kecil atau bahkan adanya fasilitas pembebasan bea masuk untuk komoditi yang tidak dapat disediakan oleh bangsa kita. Tujuannya untuk memacu pertumbuhan industri dalam negeri dalam memperoleh bahan baku dengan harga yang murah. Jumlah industri hulu di Indonesia untuk sebagian besar komoditi terbilang rendah. Misalnya untuk industri plastik saja hanya sekitar lima hingga enam persen yang bergerak di sektor hulu. Hal tersebut mengakibatkan industri hilir masih harus menggantungkan sebagian besar kebutuhannya akan barang mentah pada produk impor. Maka jika bea masuk diterapkan lebih tinggi pada industri hulu, secara tidak langsung kita akan mempercepat proses deindustrialisasi.

Kebijakan bea masuk yang rendah diterapkan untuk industri hulu yang berdampak luas pada industri hilir sehingga dapat membantu menekan biaya produksi industri hilir. Selain itu kebijakan bea masuk atas industri hulu juga harus memperhatikan ketersediaan dalam negeri. Untuk barang-barang yang tersedia cukup banyak di dalam negeri dikenakan bea masuk yang lebih tinggi. Sehingga industri hilir dalam negeri dapat memperoleh bahan bakunya dari industri hulu dalam negeri. Dengan menekan biaya produksi industri hilir, membuat industri hilir mampu bersaing.

Misalnya untuk industri hilir baja. Penghapusan bea masuk untuk baja dipandang dapat memacu pertumbuhan kedua sektor industri tersebut. Selama ini ketersediaan baja dari industri hulu dalam negeri dianggap belum mencukupi kebutuhan pasokan baja industri hilir. Selain itu, dengan pengenaan bea masuk tersebut akan memacu industri hulu baja dalam negeri agar lebih kompetitif dengan menaikkan kualitas produksinya.

Selain itu kebijakan pengenaan bea masuk yang lebih kecil untuk industri hulu pun harus diimbangi dengan kebijakan yang lain seperti kuota impor baja luar negeri atau pun pihak yang melakukan impor. Tarif bea masuk dibuat agar industri hilir dapat memilih apakah akan membeli produk industri hulu dalam negeri ataupun impor dari luar negeri.

Jadi tarif bea masuk akan progresif. Dari industri hulu yang akan dikenakan tarif paling rendah, meningkat pada industri barang setengah jadi, dan tarif paling tinggi dikenakan pada barang jadi atau industri hilir. Selengkapnya...

Selasa, 16 November 2010

perlakuan pajak SJSN

Dilihat dari aspek perpajakan, iuran yang terkait dengan jaminan sosial dikecualikan dari pengenaan pajak. Berdasarkan pasal 4 ayat 3 UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi dwi guna, beasiswa, kematian, kecelakaan, dan asuransi kesehatan dikecualikan dari objek penghasilan. Begitu juga iuran yang diterima oleh dana pensiun yang pendiriannya disahkan oleh menteri keuangan. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada bidang tertentu yang diatur dengan keputusan menteri keuangan juga dikecualikan dari objek pajak.
Pengeluaran perusahaan terkait dengan pembayaran premi asuransi karyawannya boleh dikurangkan dari penghitungan penghasilan kena pajaknya karena akan menjadi tambahan penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. Jika disimpulkan, maka pengenaan pajak terkait dengan pembayaran premi jaminan sosial dilakukan pada penghitungan penghasilan karyawan pribadinya. Ketika karyawan tersebut menerima uang manfaat jaminan sosial akan dikecualikan dari pengenaan pajak.
Bagi pihak penyelenggara jaminan sosial, dana premi yang diterima dikecualikan dari penghitungan pengenaan pajak. Begitu juga dengan penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu yang diatur oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat tidak bersifat spekulatif dan tidak memiliki risiko yang tinggi.
Beberapa peraturan pajak yang terkait dengan pelaksanaan program SJSN diantaranya:
1. Pembayaran premi Jamsostek diatur dengan PP nomor 14 tahun 1993 jo. PP nomor 28 tahun 2002.
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Dikelompokkan berdasarkan resiko kecelakaan kerja, yaitu:
Kelompok I = Premi sebesar 0,24% x Gaji sebulan
Kelompok II = Premi sebesar 0,54% x Gaji sebulan
Kelompok III = Premi sebesar 0,89% x Gaji sebulan
Kelompok IV = Premi sebesar 1,27% x Gaji sebulan
Kelompok V = Premi sebesar 1,74% x Gaji sebulan.
Jaminan Kematian (JKM) ditetapkan sebesar 0,30% x Gaji sebulan yang ditanggung oleh pengusaha dengan besar biaya santunan sebesar 12 juta yang terdiri dari 10 juta untuk santunan kematian, 2 juta untuk biaya pemakaman sesuai dengan PP nomor 76 tahun 2007, dan santunan berkala.
Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) :
- Pegawai berkeluarga = 6% x Gaji sebulan (maksimum gaji Rp 1.000.000,00).
- Pegawai bujangan = 3% x Gaji sebulan (maksimum gaji Rp 1.000.000,00).
Atas premi JKK, JKM, dan JPK yang dibayar oleh pemberi kerja dimasukkan sebagai penghasilan karyawan (menambah penghasilan bruto).
Jaminan Hari Tua (JHT) ;
- 3,7% x Gaji sebulan (jika dibayar pemberi kerja) ; dan
- 2% x Gaji sebulan (jika dibayar sendiri oleh karyawan).
Premi jaminan hari tua (JHT) yang dibayar pemberi kerja tidak dimasukkan sebagai penghasilan karyawan (tidak menambah penghasilan bruto karyawan). Pengenaan pajaknya akan dilakukan pada saat karyawan yang bersangkutan menerima Jaminan Hari Tua dari PT. Jamsostek (Final). Premi jaminan hari tua yang dibayar sendiri oleh karyawan merupakan pengurang penghasilan bruto bagi karyawan dalam perhitungan PPh karyawan tersebut.
Iuran Pensiun
Perlakuan pajak atas iuran pension yang ditetapkan berdasarkan nominal, bukan persentase penghasilan, sama dengan JHT. Atas yang dibayarkan sendiri oleh karyawan yang bersangkutan akan menjadi pengurang penghasilan bruto. Atas yang dibayarkan oleh perusahaan, tidak menambah penghasilan bruto.
2. Uang manfaat pension, jaminan hari tua, dan tunjangan hari tua yang dibayar sekaligus dikenakan pajak final yang diatur dengan PP nomor 68 tahun 2009 yaitu sebesar:
- 0% = 0-50.000.000
- 5% = >50.000.000
Yang dimaksud dengan dibayarkan sekaligus adalah pembayaran atas penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan seluruhnya atau dibayarkan sebagian atau dibayarkan bertahap sepanjang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
3. Uang manfaat pension, jaminan hari tua, dan tunjangan hari tua yang dibayarkan berkala setiap bulan akan mendapat pengurang biaya pension sebesar 5% dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp2.400.000,00 selama satu tahun atau Rp200.000,00 selama sebulan berdasarkan PMK 250/ PMK. 03/ 2008.
4. Bidang-bidang investasi tertentu PMK 234/ PMK.03/ 2009 Oleh karena maksud pembebasan PPh ini adalah untuk mengurangi beban para peserta pensiun (baca : pensiunan),dan mengurangi penyalahgunaan dana peserta pensiunan oleh dana pensiun dengan menanamkan dana tersebut pada produk-produk investasi yang “tidak aman” (beresiko tinggi), maka kriteria penetapan bidang usaha tertentu adalah bidang usaha yang tidak bersifat spekulatif dan beresiko tinggi.
Menteri Keuangan menetapkan tiga jenis penghasilan yang dikecualikan dari objek PPh, yaitu:
1. Bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia;
2. Bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), surat berharga syariah Negara, dan surat perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
3. Dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia.
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku mulai tanggal 29 Desember 2009.
5. Atas perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia yang membayarkan premi pada perusahaan asuransi di luar negeri dikenakan pajak 20% berdasarkan pasal 26 UU PPh dikalikan dengan perkiraan neto sebesar 5% sehingga tarif efektifnya sebesar 1% dari jumlah bruto
Sehubungan dengan adanya perbedaan perlakuan atas jasa asuransi menurut ketentuan perpajakan, maka dalam melaksanakan pembukuan dilakukan secara terpisah. Misalnya PT Jamsostek menyelenggarakan pembukuan terpisah atas JKK, JPK, dan JHT. Pemisahan pembukuan ini terkait penghitungan kewajiban perpajakan atas jasa jaminan sosial yang termasuk SJSN dan yang bukan SJSN. Selengkapnya...

SJSN

Apa itu SJSN?

SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) adalah suatu program jaminan sosial yang diharapkan mampu menjamin seluruh rakyat Indonesia. SJSN terbagi menjadi lima komponen jaminan utama yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pensiun. Penyelenggaraan SJSN ini sebagai wujud dari pelaksanaan amanat UUD 1945 pasal 34 ayat 2 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.

Pelaksanaan UU SJSN diatur oleh UU nomor 40 tahun 2004. Pengawasan pelaksanaannya dilakukan oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional). Sedangkan pelaksananya adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Dalam penyelenggaraannya akan bertanggung jawab kepada presiden. PT (Persero) Jamsostek, PT (Persero) Taspen, PT (Persero) Askes, dan PT (Persero) Asabri akan menjadi administrator BPJS.

Sejak pemberlakuan UU tentang SJSN, seharusnya semua ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan jaminan sosial tersebut selaras dengan UU SJSN. Dimulai dari hal yang paling mendasar mengenai bentuk BPJS hingga pengelolaan dana jaminan sosial. Menurut UU SJSN, BPJS adalah badan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Mengingat tujuan pembentukannya, maka BPJS adalah badan nirlaba yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan peserta. Sedangkan lembaga penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang berbentuk PT (Persero) dan BUMN yang modalnya berasal dari modal saham yang menunjukkan bahwa badan tersebut bersifat profitable.

Salamuddin Daeng, peneliti pada Institute for Global Justice (IGJ) mengatakan bahwa meskipun perusahaan asuransi yang rencananya akan ditunjuk negara sekalipun adalah BUMN, tidak ada jaminan fungsi sosialnya dapat dilaksanakan. Ini karena jika dilihat dari orientasi ekonominya, BUMN-BUMN yang dimaksud adalah perusahaan yang berorientasi pada profit yang tidak ubahnya dengan perusahaan swasta lainnya. Belajar dari krisis keuangan global yang melanda AS dan kemudian menular ke Eropa, Jepang, dan bahkan negara-negara berkembang, ini sebagian besar merupakan akibat ulah perusahaan-perusahaan asuransi. Pengalaman hancurnya perusahaan-perusahaan asuransi AS merupakan fakta bahwa menyerahkan urusan jaminan sosial dan asuransi sosial pada sektor swasta sama sekali bukan hal yang tidak berisiko.

Proses bisnis SJSN

Untuk melaksanakan UU SJSN dibentuk BPJS. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Selain itu juga terdapat DJSN berfungsi merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan SJSN. Selain itu DJSN juga berfungsi sebagai pengawas operasional teknis dari BPJS. Pemerintah harus menetapkan fungsi pengawasan apakah terletak pada sekretariat DJSN atau Bappepam LK.

Hasil pengelolaan dan jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Prinsip pengelolaan dana jaminan sosial dalam ketentuan ini adalah hasil berupa deviden dari pemegang saham yang dikembalikan untuk kepentingan peserta. Jaminan sosial BPJS wajib membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktek aktuaria yang lazim dan berlaku umum. Cadangan teknis menggambarkan kewajiban BPJS yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban di mata depan peserta.

Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan BPJS. Pengawasan terhadap pengelolaan keuangan BPJS dilakukan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya pemerintah dapat menetapkan besarnya manfaat pensiun ketika sedang kekurangan dana.

Iuran SJSN ditanggung bersama antara pemberi kerja, pegawai, dan pemerintah. Untuk sector formal, antara pemberi kerja dan pegawai akan menanggung bersama berdasarkan persentase tertentu dari upah. Sedangkan untuk sector informal berdasarkan nominal tertentu atau persentase tertentu dari upah. Untuk informal yang tergolong miskin akan ditanggung oleh pemerintah sedang untuk informal yang tidak tergolong miskin akan ditanggung sendiri.

Melihat dari proses bisnis SJSN, maka pengeluaran negara yang terkait dengan SJSN akan meliputi tiga hal yaitu:

a. Pengeluaran terkait dengan pembayaran dana jaminan sosial bagi PNS dimana negara bertindak sebagai pemberi kerja;

b. Pengeluaran terkait dengan pembiayaan untuk sektor informal yang tergolong miskin;

c. Pengeluaran terkait dengan lembaga-lembaga yang mendukung berjalannya SJSN seperti untuk DJSN dan Sekretariat, maupun pengawasan dan pengendalian operasional BPJS, dan penegakan hukum.

Agar SJSN dapat dimulai, beberapa fungsi dan proses pendukung pokok harus telah dikembangkan dan dilaksanakan. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:

· Penerbitan nomor indentitas tunggal (Single Identity Number). Setiap orang yang menjadi anggota SJSN harus memiliki nomor indentitas tunggal. Setiap orang memiliki nomor indentitas dan tidak seorangpun yang memiliki nomor indentitas lebih dari satu.

· Prosedur administrasi program SJSN. Fungsi harian yang harus dilakukan oleh BPJS yang bertanggung jawab untuk masing-masing program SJSN harus diidentifikasi dan proses bisnis untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut harus disusun.

· Manajemen keuangan. Manajemen keuangan meliputi penentuan tarif kontribusi, persiapan model-model keuangan dan proyeksi keuangan, perhitungan cadangan, penyusunan laporan aktuaria, analisis statistik, persiapan pembuatan buletin statistik, laporan tahunan, dll.

· Pengumpulan iuran dan data serta penegakan hukum. Iuran dan data-data keanggotaan harus dikumpulkan setiap bulan untuk semua peserta kelima program jaminan sosial. Proses ini harus dirancang dan diotomatisasi. Pemerintah juga harus menegakkan aturan pembayaran iuran jaminan sosial dan memidanakan pengusaha dan pekerja yang tidak mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku.

· Pengawasan dan pengendalian terhadap BPJS. Undang-undang SJSN mengindikasikan bahwa DJSN bertanggung jawab untuk mengawasi BPJS. Namun, DJSN adalah sebuah lembaga politis yang tidak memiliki staf untuk mengawasi dan tidak memiliki keahlian teknis aspek operasional BPJS.

· Edukasi publik. Ketentuan, hak-hak, dan kewajiban peserta SJSN harus dikomunikasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat juga harus memahami semua lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem SJSN dan peran masing-masing lembaga tersebut. Selain itu, edukasi kepada media secara khusus diperlukan untuk memastikan adanya pemberitaan yang akurat. Edukasi kepada Parlemen juga diperlukan untuk memastikan mereka mengerti alasan, tujuan, dan kepentingan dari berbagai program SJSN dan lembaga-lembaganya. Pemerintah harus memutuskan lembaga mana saja yang akan bertanggung jawab untuk setiap fungsifungsi tersebut dan memastikan bahwa lembaga tersebut memiliki staf, anggaran, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk beroperasi secara efektif.

Selengkapnya...