Kamis, 26 Januari 2012

Residivis pajak


Dalam KUHP dikenal hukuman yang lebih berat bagi mereka yang melakukan pengulangan kejahatan dalam batas waktu yang ditentukan. Misalnya kejahatan pembunuhan sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP akan dikenai hukuman 10 tahun. Apabila ia mengulangi kembali perbuatannya setelah menjalani hukuman 10 tahun tersebut, maka berdasarkan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman normal, dengan catatan perbuatan yang jenisnya sama tersebut dilakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruh atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan.

Dalam Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive (Aturan Khusus Buku II atau Buku III). Pada prinsipnya batas tenggang waktu untuk menentukan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai residivis adalah 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Bartolus, seorang ahli hukum, menyatakan bahwa “Humanum enimest peccare, angilicum, se emendare, diabolicum perserverare” atau kejahatan dan pengulangan kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan. Kita dapat melihat betapa pentinganya kedudukan pengulangan tindak pidana dalam hukum pidana.

Residivis sendiri berasal dari bahasa Perancis re dan cado. Re artinya lagi. Cado artinya jatuh. Residivis adalah melakukan kembali perbuatan kriminal yang sebelumnya dilakukan setelah dijatuhi hukuman pidana (dalam hal ini dari putusan hakim yang bersifat tetap) dan menjalani penghukumannya. Secara umum, unsurnya adalah:
a. Dilakukan oleh orang yang sama
b. Telah jatuh putusan terdahulu atas tindak pidananya
c. Pernah menjalani sebagian atau seluruh hukuman
d. Putusan hakim tersebut bersifat tetap
e. Dilakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dalam konsep KUH Pidana Tahun 1982/1983 disebutkan bahwa tujuan pemidaan adalah untuk:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat
b. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat
c. Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat
d. Membebaskan rasa bersalah para terpidana
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan sendiri juga dikenal adanya tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam KUP. Pelanggaran maupun kejahatan terhadap ketentuan perpajakan akan dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Prof. Dr. Mr. J. Van der Poel (dalam buku Rondom Composite en Compromis) menyatakan bahwa hukum pidana pajak sebanyak mungkin harus sesuai dengan hukum pidana umum.

Penerapan hukuman ini ditujukan untuk memberikan efek jera dan sebagai alat untuk mencegah terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan antara tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana umum. Salah satunya adalah mengenai residivis.

Bukan hal mustahil apabila wajib pajak mengulangi kesalahan berupa tindak pidana pajak sebagaimana diatur dala Pasal 39, 40, 41, dan 41A UU KUP dalam jangka waktu tertentu. Namun, peraturan perundang-undangan perpajakan tidak mengenal istilah residivis. Akibatnya, apabila terjadi tindak pidana yang sama dalam jangka waktu tertentu akan dikenakan hukuman yang sama. Mengapa tidak ada istilah residivis dalam pajak yang bisa dikenakan hukuman misalnya sepertiga lebih tinggi dari sanksi biasa dalam jangka waktu 5 tahun? Selengkapnya...