Minggu, 27 Maret 2011

Tax Holiday, benarkah signifikan?

Tax Holiday dibuat sebagai sweetener bagi para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Berbagai kemudahan dan fasilitas fiskal dijadikan penarik datangnya investor terutama bagi investasi baru dan perluasan investasi. Namun benarkah bahwa fiskal menjadi poin penting bagi investasi?

Banyak pendapat menyatakan bahwa tax holiday bukan menjadi pertimbangan utama. Karena pada dasarnya ketika seorang investor akan memutuskan menanamkan modalnya di suatu tempat, beberapa hal penting menjadi pertimbangannya.

Yang pertama adalah pangsa pasar. Indonesia memiliki jumlah penduduk yang banyak dan tergolong konsumtif. Sebagai sebuah negara berkembang, penduduk Indonesia rata-rata menghabiskan 80% penghasilannya untuk konsumsi (disposable income). Jadi secara pangsa pasar, kita masih unggul. Selain itu, jumlah penduduk yang banyak membuat upah tenaga kerja tergolong murah, sehingga biaya pokok produksi dapat ditekan.

Yang kedua, infrastruktur. Di sinilah letak permasalahannya. Ketersediaan infrastruktur yang kurang baik akan menimbulkan masalah terutama pada link distribusi yang berakibat pada kenaikan harga produk. Belum lagi praktek pungli di sepanjang jalur produksi.

Yang ketiga adalah urusan administrasi. Kita dinilai terlalu birokratis. Dengan semboyan "kalo bisa dipersulit mengapa harus dipermudah?"

Dari tiga faktor utama di atas, rasanya tax holiday tidak begitu signifikan dalam menarik minat investor. Karena masih banyak kekurangan kita. Seandainya infrastruktur kita baik dan birokrasi kita mudah, rasanya tanpa tax holiday pun investor akan tetap menanamkan modalnya di Indonesia, mengingat pangsa pasar yang menggiurkan.

Penerapan tax holiday malah dapat menimbulkan potential loss dari penerimaan negara. Jadi seharusnya kita lebih berhati-hati dalam memperhitungkan cost and benefit dari sebuah kebijakan. Selengkapnya...

Jumat, 18 Maret 2011

Pangan itu Zero Tolerance


Setiap kegiatan harus memiliki prioritas. Begitu pula dengan pembangunan. Tidak dapat dipungkiri bahwa semasa jabatan Soeharto, Indonesia memiliki prioritas pembangunan yang tercermin dalam Repelita. Di sanalah terletak framework pembangunan bangsa ini. Semua sektor pembangunan itu penting. Namun dengan keterbatasan sumber daya yang kita miliki, mengharuskan kita untuk memilih prioritas pembangunan.

Sekarang ini, hampir semua sektor pembangunan menempatkan diri bahwa sektor merekalah yan g terpenting. Namun, sejalan dengan pernyataan wakil presiden, Boediono, bahwa urusan pangan zero tolerance. Karena pangan menjadi dasar kebutuhan dari setiap individu di dunia ini. Tahun 2011, sadar atau tidak, krisis pangan mulai dirasakan. Perubahan iklim dijadikan alasan terjadinya krisis. Kenaikan harga minyak mentah dunia memacu krisis ke arah yang lebih buruk.

Beberapa hal yang tidak kita sadari memacu krisis pangan. Peningkatan kesejahteraan yang mendorong tingkat konsumsi, perubahan iklim global, pertambahan jumlah penduduk yang menyebabkan turunnya luas lahan pertanian adalah beberapa penyebab krisis pangan global. Kenaikan harga bahan pangan akan memicu kenaikan harga domestik. Ditambah lagi dengan kenaikan harga minyak yang terus terjadi akan mendorong peningkatan harga bahan pangan. Jika sudah seperti ini, maka kenaikan inflasi menjadi hal yang wajar terutama untuk inflasi yang merupakan sumbangan dari volatile food. Tekanan inflasi akan melanda di emerging market termasuk Indonesia.

Kita membutuhkan kebijakan pemerintah untuk pengamanan pangan. Subsidi raskin, subsidi pupuk, insentif fiskal berupa PPN DTP untuk beberapa komoditas, penurunan tarif bea masuk dan sebagainya adalah langkah-langkah yang telah ditempuh pemerintah untuk mengamankan pasokan pangan dalam negeri.

Jika sudah terjadi hal seperti ini, kita kembali disadarkan bahwa Orde Baru tidak selamanya berdampak buruk. Beberapa hal yang baik seperti prioritas pembangunan yang dulu sempat dilaksanakan sehingga Indonesia berhasil swasembada pangan dan menjadi macan Asia, masih layak untuk terus diperjuangkan. Karena pangan itu zero tolerance. Selengkapnya...